Rabu 14 Oct 2020 15:59 WIB

Kisah Mahfud Kala SBY Menangis Ditekan Publik

SBY disebut Mahfud menangis tidak terima pilkada dikembalikan ke DPRD.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Indira Rezkisari
Menko Polhukam Mahfud MD (kanan) mengatakan Pilkada di Indonesia memiliki dinamika dan perubahan dari waktu ke waktu. Saat ini pemerintah bertahan dengan anggapan Pilkada serentak akan tetap berjalan di akhir tahun.
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Menko Polhukam Mahfud MD (kanan) mengatakan Pilkada di Indonesia memiliki dinamika dan perubahan dari waktu ke waktu. Saat ini pemerintah bertahan dengan anggapan Pilkada serentak akan tetap berjalan di akhir tahun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, menceritakan Presiden Republik Indonesia (RI) Keenam, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sempat menangis ketika mendapatkan tekanan dari publik terkait peraturan pemilihan kepala daerah pada 2014 lalu. Kala itu, Undang-Undang (UU) yang mengatur kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD akhirnya dibatalkan lewat Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) oleh SBY.

"Pada saat itu serangan dari masyarakat sipil kepada pemerintah SBY itu luar biasa, 'Pak SBY ini merusak demokrasi,' macam-macam. Sampai dari pemberitaan itu Pak SBY sampai ndak tahan melihat hantaman sampai konon menangis di atas pesawat dalam perjalanan, ndak kuat," ujar Mahfud dalam diskusi daring, Rabu (14/10).

Baca Juga

Mahfud mengatakan, saat itu ada pandangan warisan SBY dari hasil menata negara selama 10 tahun pemerintahannya hanya dirusak oleh UU tersebut. Itulah yang menyebabkan SBY tidak mau menandatangani UU yang sudah disahkan di parlemen saat itu.

"Pak SBY dari Amerika waktu itu mengumumkan, 'saya pro rakyat, kita akan mencari jalan agar Pilkada tidak dilakukan oleh DPRD.' Sepulangnya dari Amerika, itu tanggal 29 September 2014, UU itu disahkan, tapi kemudian, 2 Oktober dikeluarkan Perppu mencabut (UU) itu," ungkap Mahfud.

Mahfud pada kesempatan itu menceritakan sejarah perjalanan pelaksanaan Pilkada dari masa ke masa. Mulai dari kepala daerah yang dipilih oleh DPRD dengan praktik politik uangnya hingga yang terkini. Cerita tentang SBY itu terjadi ketika UU Pilkada direvisi pada 2014 dari yang pemilihan langsung menjadi tidak langsung atau kembali dipilih oleh DPRD.

Melihat semua proses selama ini, Mahfud mengatakan, Pilkada telah melalui proses eksperimentasi yang selalu berubah dengan segala dinamikanya. Untuk saat ini, yang ada di depan mata rakyat Indonesia adalah Pilkada langsung. Dia berharap, pelaksanaannya dan hasilnya ke depan dapat dilakukan secara sempurna.

"Mari kita sempurnakan pelaksanaannya, lebih yang jangka panjang, bukan hanya yang terkait dengan pandemi," ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.

Pemerintah menegaskan Pilkada serentak 2020 tetap akan berlangsung sesuai jadwal, meskipun berbagai kalangan mendesak agar ditunda. Agar tak menjadi klaster penyebaran Covid-19, pemerintah meminta pelaksanaan pilkada harus mengutamakan kesehatan masyarakat dengan menjalankan protokol kesehatan secara ketat.

Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan penyelenggaraan pilkada tidak bisa menunggu pandemi Covid-19 berakhir. Apalagi, tidak ada satu pun negara yang tahu kapan pandemi berakhir. Oleh karena itu, penyelenggaraan pilkada dinilai harus dilaksanakan dengan protokol kesehatan ketat agar aman dan tetap demokratis.

"Penyelenggaraan Pilkada 2020 tetap sesuai jadwal, 9 Desember 2020, demi menjaga hak konstitusi rakyat, hak dipilih, dan hak memilih," ujar Fadjroel dalam siaran resminya, Senin (21/9).

Untuk memastikan protokol kesehatan dijalankan dengan ketat saat pelaksanaan pilkada, pemerintah dapat memberikan sanksi tegas dan penegakan hukum kepada masyarakat yang melanggar. Sehingga tak menyebabkan munculnya klaster baru pilkada.

Fadjroel menyebut, pelaksanaan pilkada di masa pandemi bukanlah hal yang mustahil. Negara-negara lain seperti Singapura, Jerman, Prancis, dan Korea Selatan juga menggelar pemilihan umum di masa pandemi dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Pemerintah pun mengajak semua pihak untuk bergotong-royong mencegah potensi klaster baru penularan Covid-19 pada setiap tahapan pilkada.

Berdasarkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 6 tahun 2020, kata dia, pelaksanaan pilkada Serentak 2020 harus menerapkan protokol kesehatan tanpa mengenal warna zonasi wilayah. Menurut Fadjroel, pilkada serentak bisa menjadi momentum tampilnya inovasi baru bagi masyarakat bersama penyelenggara negara untuk bangkit bersama dengan menjadikan pilkada ajang adu gagasan, adu berbuat dan bertindak untuk meredam serta memutus rantai penyebaran Covid-19.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement