Jumat 09 Oct 2020 19:02 WIB

'Negarawan Harus Berikan Contoh yang Baik'

Provokasi biasanya terkait dengan dua hal utama, yakni hoaks atau fake news.

Hoaks (ilustrasi)
Foto: Dok Republika.co.id
Hoaks (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Provokasi sejatinya bisa dikatakan juga sebagai semacam pembangkangan sosial. Ajakan-ajakan untuk membangkang terhadap aturan yang ada serta membuat gaduh ini tentu sangat berbahaya apalagi jika hal ini ditambahi oleh bumbu-bumbu informasi hoaks. Hal ini tentu perlu diwaspadai agar masyarakat tidak sampai ikut terhasut.

Pakar Psikologi Politik, Prof Hamdi Muluk, mengatakan bahwa pada dasarnya masyarakat Indonesia ini suka mengikuti tokoh-tokoh yang ada. Sehingga sebetulnya para tokoh ini bisa untuk melawan provokasi yang ada bukannya malah ikut-ikutan menyebar hoaks. Karena menurutnya itu bukan tokoh yang punya sifat negarawan.

"Kita berharap tokoh-tokoh ini bersikap seperti negarawan, memberikan contoh-contoh yang baik kepada masyarakat, mementingkan negara dulu. Kalau dia sendiri tukang kompor ya repot, apalagi follower-nya banyak, umatnya banyak," ujar Prof Hamdi Muluk di Jakarta, Jumat (9/10).

Apalagi, menurut Hamdi, provokasi ini biasanya terkait dengan dua hal utama, yakni hoaks atau fake news, kemudian teori konspirasi. Menurutnya berita-berita bohong ini adalah yang paling sering baru kemudian teori konspirasi. Di mana Hamdi mengatakan bahwa biasanya keduanya digabungkan untuk kemudian digiring ke arah provokasi.

"Biasanya masyarakat diajak untuk melakukan pembangkangan sosial, pembangkangan terhadap negara, tidak percaya, tidak patuh. Dalam konteks radikal itu termasuk tidak percaya kepada pemerintah, pemerintah ini disebut thogut dan segala macam," ungkap Hamdi.

Pria kelahiran Padang Panjang, ini mengungkapkan bahwa dulu yang paling sering digaungkan untuk provokasi adalah banjirnya Tenaga Kerja Asing (TKA) Cina di Indonesia, seperti tuduhan yang pernah terjadi terhadap upaya menggali terowongan gelap di dekat Halim, yang mana sebetulnya itu adalah pekerja konstruksi kereta cepat.

"Tapi hal ini kemudian dipelintir yang ujung-ujungnya mengajak masyarakat tidak mempercayai pemerintah. Atau nanti bisa juga bilang ’ini yang bikin kita sengsara, kelakuan orang-orang kafir, orang-orang Cina, Kristen, Yahudi’ ujung-ujungnya nanti bisa mengarah ke persekusi," tutur Hamdi.

Oleh karena itu Hamdi menuturkan bahwa masyarakat harusnya disadarkan, diajak diajak untuk berpikir cerdas agar tidak cepat percaya hoaks, tidak cepat percaya teori-teori konspirasi. Ia mengingatkan pentingnya mengecek dulu kebenaran dari berita-berita yang ada. Karena dengan teknologi sekarang hal tersebut bisa dimuat dengan mudah.

"Bisa saja itu diedit sedikit-sedikit kemudian dimasukkan ke grup WA, ke medsos. Covid sekarang juga gitu, anjuran pemerintah untuk pakai masker dan jaga jarak mereka malah bilang ’Covid itu tidak ada, konspirasi, akal-akalan Cina dan Yahudi biar kita wajib vaksin’, katanya. Kan seperti itu berita yang beredar," kata Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement