REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrian Fachri, Flori Sidebang, Arif Satrio Nugroho
Kepala daerah mulai dari Gubernur, Bupati dan Wali Kota diminta segera menyatakan sikap mengenai Omnibus Law UU Cipta Kerja atau UU Ciptaker. Kepala daerah harus menyuarakan pendapatnya tentang UU Ciptaker yang dapat memangkas kewenangan Pemda itu sendiri.
Pakar hukum tata negara sekaligus Direktur Pusat Studi Konstitusi (PusaKo) Universitas Andalas Padang Feri Amsari melihat dari butiran undang-undang dalam Omnibus Law akan mengembalikan lagi semangat sentralistik oleh pemerintah pusat. Padahal sejak era reformasi menurut dia, semangat konstitusi telah menjalankan otonomi daerah seluas-luasnya berdasarkan Pasal 18 UUD Tahun 1945.
"Harusnya gubernur-gubernur, bupati, wali kota bersikap. Karena bukan tidak mungkin mereka tidak akan punya kewenangan apapun sepanjang itu berbeda pandangan dengan pemerintah pusat. Jadinya kepala daerah harus nurut dan patuh dengan pemerintah pusat. Tidak cium tangan pusat, dia bisa dapat PAD (pendapatan asli daerah) yang sangat kecil," kata Feri kepada Republika.co.id, Jumat (9/10).
Feri menjelaskan, begitu kewenangan pemerintah daerah semuanya ditarik ke pusat, Pemda tak lagi dapat ikut campur mengenai perizinan, penataan ruang. Kemudian juga berdampak pada perizinan eksplorasi mineral batubara (mierba), minyak dan gas bumi (migas), bahkan sampai parkir.
Menurut pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas itu, kewenangan penuh pemerintah pusat atas daerah akan sangat berbahaya. Karena sentralistik oleh pemerintah pusat membuat masyarakat tidak punya lagi ruang untuk mendapatkan kaderisasi kepemimpinan yang mampu bersaing.
Kepala daerah kehilangan kesempatan untuk menciptakan inovasi dan kreasi menata daerahnya begitu ide dan gagasannya tidak sejalan dengan pemerintah pusat.
"Kita akan kehilangan kaderiasi pimpinan nasional. Karena semua diatur pusat. Begitu ada kepala daerah berbeda haluan dengan pusat, bisa nggak dikasih PAD. Dan daerah itu bisa jadi miskin," ucap Feri.
Selain memangkas kewenangan kepala daerah, sentralistik oleh pemerintah pusat atas landasan Omnibus Law ini juga akan mengkerdilkan peluang bagi pebisnis lokal. Karena pebisnis lokal harus bersaing ketat dengan pebisnis kakap yang dekat dengan pemerintah pusat dalam mengekploitasi potensi daerah.
Di situlah ada celah pengusaha asing yang dekat dengan pemerintah pusat akan masuk ke setiap-setiap daerah yang punya potensi bagus untuk perekonomian.
Selain harus bersaing dengan pengusaha luar, pebisnis lokal lanjut Feri juga mau tak mau harus tunduk dengan pemerintah pusat.
Karena bila pebisnis lokal tidak pandai mengambil hati pemerintah pusat, ia hanya akan jadi penonton saat pengusaha luar menggarap semua lahan ekonomi yang ada di daerahnya. "Nanti akan semakin banyak pebisnis asing sangat dekat dengan pemerintah pusat," ujar Feri menambahkan.
Gubernur Sumatra Barat Irwan Prayitno mengeluarkan surat resmi yang ditujukan kepada Ketua DPR RI Puan Maharani mengenai pengesahan UU Ciptaker. Isi surat dari Irwan adalah menyampaikan aspirasi dari pengunjuk rasa dari mahasiswa beserta buruh di Sumbar untuk mendorong pembatalan UU Ciptaker.
“Yang terhormat Ketua DPR RI di Jakarta, dengan telah disahkannya Undang Undang Cipta Kerja oleh DPR RI tanggal 5 Oktober 2020, menimbulkan aksi unjuk rasa yang menolak Undang Undang Omnibus Law Cipta Kerja oleh serikat Pekerja/Serikat Buruh di Sumbar. Sehubungan dengan hal tersebut, Pemprov Sumbar menyampaikan aspirasi yang menyatakan menolak disahkannya UU Omnibus Law Cipta Kerja yang dimaksud,” tulis Irwan, melalui salinan surat kepada DPR RI yang diterima Republika, Jumat (9/10).
Sikap dari Gubernur Sumbar ini nyaris senada dengan yang dikemukakan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji. Emil yang pada Kamis (9/10) kemarin ikut turun menemui demonstran ikut mengemukakan sikap menolak dengan tegas UU Ciptaker.
Emil bahkan langsung menyurati Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pengganti Undang Undang (Perpu) untuk membatalkan Omnibus Law.
“Disampaikan dengan hormat, bahwa dengan telah disahkannya Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja oleh DPR RI tanggal 5 Oktober 2020, di Jawa Barat telah terjadi aksi unjuk rasa dan penolakan terhadap Undang-Undang tersebut dari seluruh Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) se-Jawa Barat.
Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat menyampaikan Aspirasi dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang menyatakan dengan tegas Menolak Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disahkan menjadi Undang-Undang serta meminta diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (PERPU),” tulis Emil kepada Jokowi.
Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji pun demikian. Ia juga meminta Jokowi segera mengeluarkan Perpu untuk mengakhiri kegelisahan rakyat Indonesia akibat pengesahan Undang Undang yang cacat secara hukum.
“Saya Gubernur Provinsi Kalimantan Barat dengan ini mohon kepada Presiden untuk secepatnya mengeluarkan Perppu yang menyatakan mencabut Omnibus Law," kata Sutarmidji dalam akun media sosialnya, Kamis (8/10).
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, kemarin malam menjadi salah satu kepala daerah yang menemui pendemi. Menurut Anies, memberikan aspirasi merupakan hak semua masyarakat.
Kepada para pedemo, Anies pun berjanji akan meneruskan aspirasi yang telah disampaikan kepada dirinya. Namun, ia tidak merinci kepada siapa aspirasi itu akan diteruskan.
"Aspirasi silakan disampaikan, silakan diteruskan, dan tadi saya juga sudah bicara dengan teman-teman mahasiswa mereka sampaikan aspirasi. Saya sampaikan kepada semua, Insya Allah besok saya akan teruskan," kata Anies, Kamis malam.
Anies hanya menuturkan, seluruh aspirasi para pedemo itu akan ia sampaikan saat rapat bersama seluruh gubernur di Indonesia. Akan tetapi, dia tidak menjelaskan secara rinci mengenai agenda pertemuan tersebut.
"Semua aspirasi yang tadi disampaikan akan kami teruskan. Besok ada undangan rapat semua gubernur, dan besok akan kita teruskan aspirasi ini," papar dia.
Waketum Partai Gelora yang juga mantan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah berharap pemerintah belajar dari aksi penolakan pengesahan UU Ciptaker. Demo itu berujung masif dan keruh lantaran tak ada keterbukaan pemerintah sedari awal.
Ia menilai banyaknya aksi penolakan terhadap pengesahan UU Ciptaker, karena pemerintah sejak awal menutup-nutupi isi yang tercantum dalam UU Ciptaker tersebut, dan tidak memasukkan partisipasi publik, hingga disahkan pada Senin (5/10) lalu.
"Kalau pemeritah menyatakan ini semua baik, maka sejak awal akan dikomunikasikan. Orang harus diberi tahu hal-hal yang tercatum dalam UU ini, dan pasti semua akan menerima. Karena sekali lagi tidak ada orang yang tidak mau kerja, tidak ada orang yang tidak ingin kehidupannya menjadi baik dengan bekerja dan terlibat dalam kegiatan perekonomian," ujar Fahri.
Fahri menegaskan, sejak awal pemerintah tidak terbuka soal UU Omnibus Law Cipta Kerja, sehingga publik mengesankan UU ini tidak berpihak kepada rakyat, tetapi berpihak kepada pengusaha, kelompok dan golongan tertentu saja yang ingin mengusai perekonomian Indonesia.
Dengan kejadian ini, kata Fahri, ada pelajaran besar yang harus dipetik pemerintah. Lebih lanjut Fahri mengatakan, saat ini adalah waktu yang tepat bagi pemerintah untuk secara terus menerus memberi penjelasan ke publik di tengah maraknya aksi unjuk rasa di berbagai daerah menolak UU Ciptaker.
Pemerintah menurutnya, harus bisa meyakinkan publik bahwa UU Ciptaker ini berpihak kepada rakyat, bukan berpihak kepada yang lain. "Ini waktu yang tepat berbicara dengan masyarakat, waktu berbicara kepada rakyat agar maksud baik kita, maksud baik pemerintah itu diketahui rakyat. Dan maksud baik itu ada di pihak rakyat," tegas Fahri.
Fahri juga meminta DPR memberikan penjelasan ke publik, dan tidak cuci tangan usai mengesahkan UU Ciptaker dengan menyerahkan bola panasnya ke pemerintah. Sebab, DPR yang berisi perwakilan partai politik (parpol) adalah pihak yang dianggap paling bertanggungjawab, karena telah membahas dan mengesahkan UU tersebut secara cepat.
"Itu saran saya kepada pemerintah dan DPR, semua anggota DPR yang sejak awal semua partai politik sebenarnya menyetujui pembahasan, meski diujung berbeda pendapat diakhirnya. Tetapi sejatinya mereka setuju, termasuk partai politik yang menolak," tandas Fahri.