Jumat 09 Oct 2020 05:43 WIB

BMKG Antisipasi Bencana Hidrometeorologi 2020/2021

La Nina akan terjadi hingga bulan depan.

La Nina. Ilustrasi
Foto: The Guardian
La Nina. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) tengah merumuskan metode-metode dalam menghadapi fenomena La Nina yang diprediksi akan terjadi mulai bulan ini hingga November 2020. Fenomena alam ini berpotensi menyebabkan peningkatan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia.

Hal tersebut dibahas dalam Rakornas BMKG dengan tema ”Antisipasi Bencana Hidrometeorologi, Gempabumi dan Tsunami 2020/2021 untuk mewujudkan Zero Victims”. Hadir dalam Rakornas tersebut antara lain Menteri Koordinasi Bidang Kemaritiman dan Investasi, serta Dirjen dari Kementerian Dalam Negeri, Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan, Dirjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Deputi Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Kemudian, Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kepala BPPT, juga Kepala BRG. Selain itu, turut hadir Gubernur Jawa Timur, Gubernur Riau, Plt. Gubernur Aceh. Serta, para Bupati di daerah yang berisiko mengalami bencana hidrometeorologi, gempabumi dan tsunami. Kegiatan ini juga diikuti oleh Balai Besar dan Unit Pelaksana Teknis  Stasiun BMKG di seluruh Indonesia.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menyampaikan, rapat koordinasi ini harus segera diselenggarakan, karena pada awal Oktober 2020 BMKG, NOAA, JMA, dan BoM Australia telah memprediksi terkait La Nina. “Dengan adanya fenomena La Nina moderate ini diprediksi akan ada peningkatan curah hujan mulai bulan Oktober sampai November dan akan berdampak di hampir seluruh wilayah Indonesia, kecuali di Sumatra. Oleh karena itu saya mengajak bapak dan ibu semua untuk bersiap, karena ini sudah di depan mata,” kata dia dalam keterangannya, Kamis (8/10).

Dwikorita menambahkan, catatan historis menunjukkan bahwa La Nina dapat menyebabkan terjadinya peningkatan akumulasi curah hujan bulanan di Indonesia 20% hingga 40% di atas normalnya bahkan  lebih. Namun demikian, dampak La Nina tidak seragam di seluruh Indonesia. 

Pada bulan Oktober-November 2020, diprediksikan peningkatan curah hujan bulanan dapat terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia kecuali Sumatra. Selanjutnya, pada Desember hingga Februari 2021, peningkatan curah hujan akibat La Nina dapat terjadi di Kalimantan bagian timur, Sulawesi, Maluku-Maluku Utara, dan Papua.

Sementara itu, untuk data kejadian gempa bumi, Dwikorita menyatakan, berdasarkan data monitoring kegempaan yang dilakukan BMKG, sejak tahun 2017 telah terjadi tren peningkatan aktivitas gempa bumi di Indonesia. Tren peningkatan ini tampak dari jumlah maupun kekuatannya. Kejadian gempabumi sebelum tahun 2017 rata-rata hanya 4000-6000 kali dalam setahun, yang dirasakan atau kekuatannya lebih dari 5 sekitar 200-an. 

Namun, setelah tahun 2017 jumlah kejadian itu meningkat menjadi lebih dari 7000 kali dalam setahun. Bahkan tahun 2018 tercatat sebanyak 11920 kali dan tahun 2019 sebanyak 11588 kejadian gempa.

“Ini bukan lagi peningkatan, tapi sebuah lonjakan yang cukup signifikan. Dengan data dan fakta bahwa kejadian tsunami yang terjadi di dunia sebagian besar dipicu oleh gempa bumi tektonik, tentunya tren kejadian gempa yang melonjak ini juga mengakibatkan meningkatnya potensi tsunami," kata dia.

Oleh karena itu, dia menyebut keandalan Sistem Mitigasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami perlu diperkuat. Ini mengingat hingga saat ini belum ada teknologi yang mampu memprediksi kapan terjadinya gempa bumi.

Dwikorita mengatakan, fakta menunjukkan tsunami tidak hanya dipicu oleh gempa bumi tektonik. Pada Desember 2018, terjadi peristiwa tipikal tsunami Selat Sunda pada 22 Desember 2018 yang diakibatkan oleh aktivitas gunung api di laut. Menurut statistik, kejadian tsunami tersebut sangatlah langka yaitu sebanyak 5% dari total kejadian tsunami di dunia.   

Berdasarkan data tersebut, Dwikorita menjelaskan, mitigasi serta peringatan dini gempa bumi dan tsunami serta cuaca dan iklim ekstrem merupakan hal yang mendesak untuk dipersiapkan dan diperkuat. Masalah dan jaral antara pusat dan daerah harus segera diidentifikasi untuk meningkatkan efektivitas dalam mewujudkan Zero Victims.

Sebagai contoh, kata dia pada tanggal 6 Oktober BMKG melaksanakan gladi evakuasi tsunami IOWave 20 yang diselenggarakan secara nasional dan internasional. Di situ, ungkap dia, teridentifikasi ternyata beberapa sirine tsunami tidak berfungsi.

Namun untuk memperbaiki atau mengganti sudah tidak ada yang menyediakan suku cadangnya. Menurut dia, ini adalah masalah teknis atau mikro tapi berdampak besar. Oleh karena itu, kata Dwikorita, perlu koordinasi yang lebih baik antara pusat dengan daerah, antara BNPB sebagai Koordinator dengan Kepala Daerah atau BPBD.

“Sehingga mari kita rumuskan bersama alternatif solusi dari permasalahan-permasalahan yang nanti akan teridentifikasi dan pada akhirnya akan kita rumuskan rencana aksi bersama untuk mewujudkan Zero Victims dalam menghadapi multi-bencana hidrometeorologi, gempabumi, dan tsunami,” kata Dwikorita.

Sementara itu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengimbau seluruh Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah untuk bersinergi dalam merespon informasi potensi bencana yang disampaikan oleh BMKG.

“Saya mendapatkan informasi dari Kepala BMKG bahwa peningkatan curah hujan akibat La Nina ini bisa sampai 40%. Jadi tolong ini disikapi secara serius. Semua pimpinan K/L, Gubernur, Bupati wajib meningkatkan kewaspadaan, apalagi kita masih dalam kondisi pandemi Covid-19,” kata Luhut menegaskan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement