Rabu 07 Oct 2020 18:19 WIB

UU Ciptaker Sah, IDEAS: Jangan Tumbalkan Rakyat!

Kehadiran UU Ciptaker merupakan dampak dari kegelisahan pemerintah. 

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Agus Yulianto
 Yusuf Wibisono, Direktur IDEAS
Foto: IDEAS
Yusuf Wibisono, Direktur IDEAS

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah melalui 64 kali rapat maraton yang digelar setiap hari, bahkan pada masa reses dan libur akhir pekan, DPR dan Pemerintah resmi mengesahkan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker), Senin (5/10) lalu. UU Ciptaker ini terbagi ke dalam 186 pasal dan 15 bab.

Direktur IDEAS (Indonesia Development and Islamic Studies), Yusuf Wibisono mengatakan, kabar pengesahan UU Ciptaker ini cukup mengagetkan dan memprihatinkan. Pasalnya, selain hadir di tengah masa pandemi, perumusan undang-undang juga tidak melibatkan apresiasi publik.

"UU ini cukup memprihatinkan, karena hadir di tengah pandemi, sangat cepat pembahasannya dan dilakukan di forum tertutup, nyaris tanpa ada keterlibatan publik, dan disahkan di tengah malam. Ini tentu sebuah hal yang janggal. Apalagi, ini adalah UU omnibus yang kuat dan hampir mengubah sekitar 79 UU, tentu sangat mengkhawatirkan dan berlawanan dengan kepentingan publik," ujar Yusuf dalam diskusi virtual yang digelar Forum Zakat (FOZ), Rabu (7/10).  

Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) itu menganggap, kehadiran UU Ciptaker merupakan dampak dari kegelisahan pemerintah karena tidak mampu menarik investor ke tanah air. Dia juga menyayangkan keputusan pemerintah yang justru menumbalkan rakyat, bukan justru mengutamakan kepentingan rakyat.

"Jadi ada kegamangan besar pemerintah bahwa mereka tidak mampu menarik investor dan melihat banyaknya hambatan yang membuat investor enggan bertahan di Indonesia, sehingga kemudian mereka ditindak dengan menurunkan harga lahan dan upah buruh yang murah," ujarnya.

Tentu ini menjadi sebuah hal yang memprihatinkan, karena di saat negara lain sudah mulai menawarkan keunggulan SDM-nya. Namun, sampai hari ini, justru menawarkan upah buruh yang kecil, sehingga lagi-lagi rakyat yang harus terus dikorbankan.

Ekonom ini mengatakan, sebaiknya pemerintah melihat isu ini lebih jauh, dan mempertimbangkan lebih dalam solusi yang perlu dibuat untuk menyelesaikan hambatan dibalik keengganan investor untuk masuk ke Indonesia.

"Harusnya kita pelajari isu ini lebih jauh, apa benar upah buruh yang menjadi hambatan enggannya investor untuk masuk? Padahal bisa saja yang menghambat itu justru besarnya angka korupsi atau bunga bank, atau bahkan biaya regulasi atau perizinan," tegasnya.

Jadi, jangan jadikan UU ini sebagai imbas dari kefrustasian pemerintah dalam menangani masalah reformasi birokrasi, korupsi yang sebenarnya merupakan kegagalan struktural internal pemerintah, yang kemudian dilampiaskan ke rakyat melalui UU ini.

Dikatakan Yusuf, mempermudah sektor investasi bukanlah satu-satunya cara untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Dia mengklaim, faktor konsumsi dan ekspor juga dapat menjadi alternatif cara untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia.

Tapi selama ini, kata dia, pemerintah selalu bermasalah dengan budget anggaran APBN. "Selama ini bahkan anggaran itu tidak pernah optimal untuk menjadi motor pertumbuhan ekonomi, sehingga ketergantungan negara pada faktor investasi menjadi sangat tinggi," ujarnya.

Yusuf beranggapan, solusi dari keterpurukan ekonomi, sejatinya dapat ditanggulangi dengan sedikit pengorbanan dari para kaum elit. Sehingga, rakyat tidak harus kembali dikorbankan demi memenuhi keserakahan pihak-pihak tertentu saja.

"Kalaupun ingin memberikan kemudahan bagi investor, tentunya dengan cara-cara yang bermoral, yang tetap berpihak pada rakyat, bukan rakyat justru dipaksa berkorban demi pemerintah atau investor. Itu terbalik logikanya!" tandasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement