Rabu 07 Oct 2020 12:41 WIB

Pesan Azis Syamsuddin, Baca Dulu UU Ciptaker

Menurut Azis Syamsuddin ada banyak hoaks beredar seputar UU Ciptaker.

Sejumlah aktivis dan mahasiswa dari berbagai universitas berunjuk rasa di depan Gedung DPRD Provinsi Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Selasa (6/10). Dalam unjuk rasa tersebut mereka menolak Omnibus Law dan pengesahan UU Cipta Kerja. Foto: Abdan Syakura/Republika
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Sejumlah aktivis dan mahasiswa dari berbagai universitas berunjuk rasa di depan Gedung DPRD Provinsi Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Selasa (6/10). Dalam unjuk rasa tersebut mereka menolak Omnibus Law dan pengesahan UU Cipta Kerja. Foto: Abdan Syakura/Republika

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho, Rizky Suryarandika, Antara

Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin meminta masyarakat membaca utuh Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Azis Syamsuddin menuding banyak hoaks yang tersebar soal RUU kontroversial tersebut.

Baca Juga

"Saya minta masyarakat dapat menyaring dan melakukan kroscek terlebih dahulu terhadap informasi yang beredar. Sehingga informasi yang masuk ke dalam pikiran kita tidak mudah terhasut dengan informasi yang bohong atau hoaks," ujarnya dalam pesan singkat, Selasa (6/10) malam.

Mantan Ketua Komisi III DPR itu mengharapkan agar aparat kepolisian dapat mengungkap pelaku penyebaran hoaks tersebut dan membuka motifnya. Dirinya mengajak seluruh elemen masyarakat dapat bijak dalam menggunakan media sosial.

"Bijaklah menggunakan sosmed, jangan sampai kita justru harus berurusan dengan penegak hukum karena menyebarkan berita yang tidak benar ke publik" ujarnya.

Politikus asal Lampung itu menjelaskan bahwa poin-poin yang terdapat dalam UU Cipta Kerja seperti uang pesangon, UMP, UMK, HMSP dihilangkan tidaklah benar atau informasi bohong.

"Uang pesangon tetap ada tercantum di Bab IV Pasal 89 tentang perubahan Pasal 156. Upah minimum tetap ada dan tercantum di Bab IV Pasal 89 tentang perubahan terhadap Pasal 88C UU 13 Tahun 2003," ujarnya.

Dari RUU yang didapat Republika.co.id, jumlah pesangon maksimal yang didapatkan korban PHK jumlahnya jauh berkurang, dari 32 kali gaji menjadi 25 kali. Sedangkan dalam hal upah minimum, terdapat kata "Pemda dapat menetapkan upah minimum kabupaten, kota dan provinsi". Kata dapat bisa menimbulkan tafsir bukan suatu keharusan.

Azis kemudian mengklaim, terkait dengan upah buruh yang dihitung per jam, hak cuti hilang dan outsourcing  diganti dengan kontrak seumur hidup juga merupakan hal yang tidak benar. "Jangan sampai informasi yang salah semua ini terus disebarkan dan berdampak pada hajat hidup orang banyak," ujarnya.

Politikus Golkar itu menambahkan tidak akan adanya status karyawan tetap juga merupakan informasi yang bohong atau hoaks. Dalam UU Cipta Kerja status karyawan tetap masih ada, tercantum dalam Bab IV pasal 89 tentang perubahan terhadap pasal 56 Uu 13 Tahun 2003.

"Semua pekerja pasti mengharapkan menjadi karyawan tetap, jadi tidak mungkin dihapuskan," tambahnya.

Mengenai perusahaan yang dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kapanpun diklaim Azis juga merupakan hal yang tidak benar. Perusahaan tidak bisa melakukan PHK secara sepihak dan tercantum dalam Bab IV Pasal 90 tentang perubahan terhadap Pasal 151 UU 13 Tahun 2003. "Semua ada aturannya dan tidak boleh sepihak" ucapnya.

Mantan Ketua Banggar itu juga mengklaim bahwa jaminan sosial dan kesejahteraan yang digaungkan akan dihilangkan tidaklah benar. "Jaminan Sosial masih ada dan tercantum di Bab IV Pasal 89 tentang perubahan terhadap Pasal 18 UU 40 Tahun 2004," imbuhnya.

Selain itu, isu karyawan berstatus tenaga kerja harian juga berita bohong semata. Status karyawan tetap masih ada dan tercantum dalam Bab IV Pasal 89 tentang perubahan terhadap Pasal 56 Ayat 1 UU 13 Tahun 2003. "Jadi tidak ada karyawan berstatus tenaga kerja harian, cek dalam aturan dan pasal dengan cermat," ujarnya.

Sementara itu terkait dengan isu pekerja yang meninggal ahli warisnya tidak dapat pesangon juga berita yang hoaks semata. "Ahli waris tetap dapat pesangaon dan tercantum dalam Bab IV Pasal 61," kata Azis menutup.

Pesangon menjadi salah satu isu yang mendapat sorotan pascadisahkannya UU Ciptaker. Dalam UU nomor 23 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, jumlah pesangon yang bisa didapatkan pekerja atau buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja diatur rinci hingga jumlah uang pengganti hak, yang semuanya dibayar oleh perusahaan pemberi kerja. Serikat buruh menghitung, jumlah pesangon yang bisa diterima maksimal mencapai 32 kali gaji.

Namun, dalam UU Ciptaker, jumlah pesangon yang harus dibayarkan perusahaan paling banyak hanya 19 kali gaji, ditambah enam kali gaji dari Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Seperti apa pengaturannya dalam RUU Ciptaker? Pasal 156 RUU Ciptaker menjelasakan soal pesangon tersebut. Ayat (1) pasal itu berbunyi: "Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima."

Adapun dalam ayat berikutnya, ayat (2), uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak sesuai ketentuan sebagai berikut:

a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;

b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;

c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;

d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;

e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;

f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;

g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;

h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

Lalu pada ayat (3) Uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak sesuai ketentuan sebagai berikut:

a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;

b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;

c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;

d. masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;

e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;

f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;

g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah.

Lalu, pada ayat (4), uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;

b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;

c. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Lebih lanjut, ayat (5) menyatakan Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Lalu pada Pasal 157, komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja, terdiri atas upah pokok; dan tunjangan tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya.

Untuk tambahan dari unsur JKP sebanyak enam kali gaji, dalam pembahasan antara Pemerintah dan DPR soal JKP, Pemerintah menyanggupi JKP menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun, belum jelas asal muasal dana JKP itu dari mana sehingga buruh semakin khawatir dengan kepastian tersebut.

Bila dibandingkan dengan ketentuan jumlah pesangon dan penghargaan masa kerja, ketentuan dalam UU No 13 tahun 2003 maupun dengan UU Ciptaker memang tak jauh berbeda. Lantas mengapa dianggap merugikan?

Terdapat perubahan menonjol pada perhitungan uang penggantian hak. Uang Penggantian Hak di UU No 13 tahun 2003 terdiri dari: cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja; dan pengganti perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15 persen dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; serta hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Bila dibandingkan dengan ketentuan uang pengganti hak dalam RUU Ciptaker, sebagaimana dijelaskan dalam ayat (4) RUU Ciptaker, ketentuan seperti dalam UU Nomor 13 tahun 2003 tidak diatur.

Tidak ada penggantian perumahan dan pengobatan perawatan 15 persen di RUU Ciptaker berdampak pada pengurangan jumlah pesangon yang bisa diberikan. Selain itu, UU Ciptaker juga menghapus ketentuan dalam Pasal 163 dan 164 UU 13/2003 Ketenagakerjaan yang memungkinkan pekerja korban PHK dapat tambahan jumlah pesangon sebesar dua kali lipat.

Artinya, korban PHK tak mungkin lagi dapat tambahan jumlah pesangon. Ketentuan ini jelas berdampak signifikan pada besaran pesangon yang bisa diberikan oleh pekerja saat kena PHK.

Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menyatakan mosi tidak percaya terhadap Pemerintah dan DPR RI pasca pengesahan UU Ciptaker. BEM SI memandang pengesahan UU Ciptaker tidak sejalan dengan semangat kemerdekaan.

Koordinator Pusat BEM SI 2020 Remy Hastia menyayangkan penetapan Omnibuslaw UU Ciptaker di badan legislatif terjadi saat pandemi dan di tengah gejolak penolakan masyarakat. Ia meyakini aturan itu lahir dari ketidakbecusan serta ketidakberpihakan pemerintah dan DPR terhadap nasib seluruh rakyat.

 

"Atas dasar itu, BEM SI menyatakan Pemerintah dan Wakil Rakyat Indonesia telah gagal dalam mengelola

negara sesuai dengan amanat amandemen Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat," tulis keterangan resmi BEM SI yang diterima Republika, Rabu (7/10).

"Dibuktikan dengan tingginya tingkat kesenjangan sosial diantara masyarakat, tidak diutamakannya pendidikan, dan lemahnya sektor kesehatan," lanjut keterangan resmi BEM SI.

Pada poin kedua, BEM SI menilai Pemerintah dan DPR telah menindas hak-hak rakyat dalam bersuara sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 28E ayat 3. Hal itu dibuktikan dengan masih begitu banyaknya kriminalisasi terhadap aktivis dan masyarakat dalam bersuara.

Ketiga, Pemerintah dan DPR gagal menjaga hak-hak hidup rakyat dan lingkungan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 H Ayat 1 UUD 1945. "Dibuktikan dengan disahkannya berbagai RUU bermasalah dan  dilanjutkannya pembahasan RUU Cipta Kerja yang merampas hak hidup rakyat dan lingkungan,".

"Maka dalam kesempatan ini, kami Aliansi BEM Se-Indonesia menyatakan Mosi Tidak Percaya kepada Pemerintah dan Seluruh Wakil Rakyat Indonesia."

Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan meminta pemerintah mengevaluasi RUU Ciptaker karena semakin meluasnya penolakan dari buruh, mahasiswa, dan elemen masyarakat lainnya, ditambah respons negatif dari investor global. Menurut dia, penolakan dari kaum buruh, mahasiswa, dan elemen masyarakat lainnya ditambah respons negatif dari investor global harusnya menjadi pertimbangan Pemerintah untuk menunda dan mengevaluasi kembali UU Ciptaker.

"Jangan hanya mempertimbangkan korporasi besar, tetapi juga lindungi rakyat dan lingkungan untuk anak cucu kita yang akan datang," kata Syarief.

Dia menyoroti alasan Pemerintah dan beberapa fraksi di DPR RI yang menyetujui RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) menjadi UU karena tidak hanya rakyat dan buruh yang menolak, berbagai lembaga investor global pun menyatakan keprihatinannya. Menurut dia, dilansir dari Reuters pada Selasa (6/10), 35 investor global mengungkapkan keprihatinan mereka lewat sebuah surat terbuka yang ditujukan kepada Pemerintah Indonesia.

Sebanyak 35 investor yang prihatin tersebut merupakan investor yang mengelola dana hingga 4,1 triliun dolar AS, di dalamnya, terdapat lembaga investasi Aviva Investors, Robeco, Legal & General Investment Management, Church of England Pensions Board, hingga Sumitomo Mitsui Trust Asset Management yang telah mendunia.

Syarief menilai, keprihatinan para investor global dengan potensi negatif dari UU Cipta Kerja menunjukkan pemerintah kurang memahami tentang iklim investasi di Indonesia. "Selama ini pemerintah selalu mengatasnamakan investasi untuk mengesahkan UU Cipta Kerja, padahal investor global juga telah menolak. Jadi, UU Cipta Kerja ini diperuntukkan kepada siapa," ujarnya.

Dia menyarankan agar Pemerintah lebih bijak dalam melihat persoalan UU Cipta Kerja. Bisa dilihat demonstrasi terjadi di mana-mana dan pemerintah belum mampu membendungnya.

Menurut dia, UU Cipta Kerja yang disetujui dengan cara tidak benar, malah akan menimbulkan polemik baru yang kontraproduktif dengan langkah pemerintah dalam upaya menanggulangi dampak kesehatan dan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

photo
omnibus law ciptaker - (istimewa)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement