Selasa 06 Oct 2020 19:13 WIB

Najwa Ungkap Alasan Munculnya Tayangan Kursi Kosong Terawan

Tayangan kursi kosong diniatkan mengundang pejabat publik menjelaskan kebijakannya. 

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Agus Yulianto
Jurnalis dan Co Founder Narasi, Najwa Shihab
Foto: Republika TV/Muhamad Rifani Wibisono
Jurnalis dan Co Founder Narasi, Najwa Shihab

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presenter dan jurnalis Najwa Shihab tengah menuai perhatian lantaran memunculkan acara wawancara dengan sebuah kursi kosong, yang mestinya diduduki Menteri Kesehatan RI, Terawan Agus Putranto. Banyak yang mendukung Najwa, banyak pula yang mengecam. Bahkan, Relawan Jokowi Bersatu sampai melaporkan Najwa ke Polda Metro, meski akhirnya ditolak. 

Najwa pun angkat bicara soal munculnya tayangan itu. Menurut jurnalis yang kerap disapa Nana itu, tayangan kursi kosong diniatkan mengundang pejabat publik menjelaskan kebijakan-kebijakannya terkait penanganan pandemi. Dalam hal Menteri Terawan. Ia tentu saja diminta bicara soal penanganan Covid-19 yang kian mengkhawatirkan. 

"Penjelasan itu tidak harus di Mata Najwa, bisa di mana pun," ujar Najwa saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (6/10).

Namun, lanjut Najwa, kemunculan Menteri Kesehatan memang minim di mata pers sejak pandemi kian meningkat. Bukan hanya di acara Najwa yang bertajuk Mata Najwa itu. Dari waktu ke waktu, makin banyak pihak yang bertanya ihwal kehadiran dan proporsi Manteri Kesehatan dalam soal penanganan pandemi.

"Faktor-faktor itulah yang mendorong saya membuat tayangan yang muncul di kanal Youtube dan media sosial Narasi," ujar dia. 

Menurut Najwa, media massa perlu menyediakan ruang untuk mendiskusikan dan mengawasi kebijakan-kebijakan publik. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam tayangan kursi kosong itu, menurut Najwa, juga berasal dari publik, baik para ahli/lembaga yang sejak awal concern dengan penanganan pandemi maupun warga biasa

"Itu semua adalah usaha memerankan fungsi media sesuai UU Pers yaitu 'mengembangkan pendapat umum' dan 'melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum'," ujarnya.

Najwa mengingat, tayangan “kursi kosong” ini memang tak lazim dilakukan di Indonesia. Namun, tayangan seperti ini sangat lazim di negara-negara yang sudah punya sejarah kemerdekaan pers cukup panjang. 

Di Amerika, wawancara semacam ini sudah dilakukan bahkan sejak tahun 2012, di antaranya oleh Piers Morgan di CNN dan Lawrence O’Donnell di MSNBC’s dalam program Last Word. Pada 2019 lalu di Inggris, Andrew Neil, wartawan BBC, juga menghadirkan kursi kosong yang sedianya diisi Boris Johnson, calon Perdana Menteri Inggris, yang kerap menolak undangan BBC. 

Hal serupa juga dilakukan Kay Burley di Sky News ketika Ketua Partai Konservatif James Cleverly tidak hadir dalam acara yang dipandunya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement