REPUBLIKA.CO.ID, oleh Umar Mukhtar, Rossi Handayani, Sapto Andika Candra
Vaksin Covid-19 sedang dalam tahap uji klinis final di Tanah Air. Masyarakat ditargetkan akan bisa mulai menerima vaksin Covid-19 secepatnya pada tahun depan. Ada berbagai aspek sedang dirampungkan sebelum vaksin Covid-19 diedarkan ke publik di Indonesia. Salah satunya adalah aspek kehalalan vaksin.
Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Sukoso menyatakan vaksin Covid-19 harus diaudit terlebih dulu oleh lembaga pemeriksa halal untuk memastikan kehalalan produk tersebut. Dia mengatakan, proses audit ini dilakukan oleh LPPOM MUI, bukan BPJPH.
"Yang jelas, harus mengikuti SOP (Standard Operating Procedure). Harus dilakukan audit dulu. Audit kan bukan dari BPJPH. Undang-Undang mengatakan audit itu oleh LPH (lembaga pemeriksa halal), bukan oleh BPJPH," tutur dia kepada Republika.co.id, Selasa (6/10).
Satu-satunya LPH yang ada saat ini, lanjut Sukoso, hanya Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). "Iya, karena LPH yang ada saat ini kan LPPOM MUI," kata Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya itu.
Lebih lanjut, Sukoso mengingatkan, pandemi Covid-19 ini merupakan keadaan yang sangat darurat. Korban yang berjatuhan pun sudah banyak. "Yang penting kan keamanan dan ketepatan. Itu dulu. Wong sudah dalam kondisi darurat. Kondisinya di sini jelas-jelas korbannya sudah begitu banyak," tuturnya.
Agustus lalu, Sukoso sempat mengatakan, vaksin Covid-19 tidak perlu terlebih dulu dilakukan sertifikasi halal. Menurutnya, pandemi Covid-19 saat ini tergolong kondisi darurat sehingga vaksin bisa langsung digunakan tanpa terlebih dulu disertifikasi halal.
"Proses untuk mendapatkan kehalalan produknya kan prosesnya harus diaudit. Audit itu butuh waktu. Tetapi menolong kan harus secepatnya. Jadi ya monggo saja digunakan dulu (vaksinnya). Kan sekarang ini nyawa manusia harus diselamatkan (karena) kondisinya emergency sekali," tuturnya saat itu.
Sukoso menambahkan, kondisi darurat seperti saat ini mengharuskan untuk cepat bergerak agar pandemi Covid-19 bisa segera berakhir. Dia mengatakan, sertifikasi halal itu memerlukan proses audit sehingga butuh waktu lagi. Padahal semua orang perlu vaksin secepatnya.
Dalam kondisi darurat, lanjut Sukoso, apapun tentu boleh digunakan. Dia mengibaratkan seseorang yang sedang berada di sebuah tempat yang tidak ada makanan kecuali babi. "Taruhlah begitu ya, kita kan nggak boleh mati konyol. Maka yang ada di situ ya boleh dimanfaatkan," terangnya.
Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Lukmanul Hakim mengatakan, sampai saat ini proses sertifikasi halal vaksin Covid-19 masih berjalan. "Kami tinggal menunggu kesiapan mereka, proses sertifikasi sampai saat ini sedang berjalan," kata Lukmanul.
Dia menjelaskan, di bawah MUI ada LPPOM MUI, dan Komisi Fatwa. LPPOM sendiri memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam melakukan sertifikasi produk, mereka akan memeriksa terlebih dahulu dokumen yang masuk, kemudian akan turun langsung ke lapangan atau melakukan audit.
Vaksin Covid-19 tengah dikembangkan oleh PT Bio Farma (Persero) bersama perusahaan farmasi asal Cina, Sinovac. Dia mengatakan, LPPOM langsung berkomunikasi dengan Bio Farma yang telah mengajukan diri untuk kehalalan produk.
Sebelumnya dokumen pengajuan sertifikasi halal telah diajukan oleh Bio Farma sebelum uji klinis dilakukan. Lukmanul mengatakan, proses komunikasi antara Bio Farma dan LPPOM MUI sudah berlangsung lama.
Saat ini LPPOM MUI masih menunggu kesiapan penyelenggara untuk dilakukan audit. Persiapan memang membutuhkan waktu yang tidak cepat, karena saat ini tengah terjadi pandemi Covid-19.
"Kita tunggu penyelenggara, mungkin pertengahan Oktober bisa juga akhir Oktober, atau awal November. Menunggu kesiapan di sini dan di sana, kemudian ada protokol kesehatan, kalau kita berangkat ke China harus karantina juga sampai di sana," ucap Lukmanul.
Pemerintah Indonesia menggandeng sejumlah pabrikan farmasi di luar negeri agar bisa memproduksi vaksin Covid-19 lebih cepat. Setidaknya ada tiga perusahaan farmasi asing yang terlibat kerja sama dengan produsen vaksin dalam negeri. Kerja sama riset vaksin dengan pihak luar merupakan antisipasi agar vaksin bisa diperoleh lebih cepat, selain produksi secara mandiri yang dilakukan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menjelaskan, pihak pertama yang terlibat kerja sama akses vaksin dengan pemerintah Indonesia adalah Sinovac asal China. Bakal vaksin yang diproduksi Sinovac kini sedang menjalani uji klinis tahap III di Bandung. Bila sukses, maka produksi massal akan dilakukan oleh PT Bio Farma.
Pihak kedua yang menjalani kerja sama dengan Indonesia adalah Sinopharm. Perusahaan farmasi asal China ini punya basis di dua tempat, yakni Beijing dan Wuhan. Sinopharm sendiri kini melakukan uji klinis tahap III di Uni Emirat Arab dengan target subjek 22.000 orang. Bila uji klinis sukses, maka vaksin akan diproduksi oleh PT Kimia Farma.
"Kerja sama dengan pemerintah Indonesia melalui PT Kimia Farma yang bekerja sama dengan G42 di UEA," ujar Wiku dalam keterangan pers di kantor presiden, Selasa (6/10).
Perusahaan farmasi ketiga yang diajak bekerja sama oleh pemerintah Indonesia adalah Genexine asal Korea Selatan. Perusahaan yang bekerja sama dengan PT Kalbe Farma sedang menjalani uji klinis fase I dan fase IIA di negara asalnya dengan 60 subjek penelitian.
"Selain kerja sama multilateral, pemerintah Indonesia terus mendorong pengembangan vaksin dalam negeri seperti konsorsium pengembangan vaksin merah putih yang dipimpin lembaga biologi molekuler Eijkman dan Kemenristek," ujar Wiku.
Berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sampai awal Oktober ini baru 10 kandidat vaksin yang telah masuk uji klinis tahap III. Data yang didapat dari WHO Draft Landscape of Covid-19 Vaccine Candidate menyebutkan, 10 kandidat vaksin yang sedang menjalani uji klinis tahap III tersebut dikembangkan oleh Sinovac, Wuhan Institute of Biological Products atau Sinopharm, Janssen Pharmaceutical Companies (Johnson & Johnson Group), Cansino Biologics Incorporation atau Beijing Institute of Biotechnology, Gamaleya Research Institute, dan BioNtech atau Fosun Pharma Pfizer.
Selain itu ada juga produsen vaksin lain seperti University of Oxford atau AstraZeneca, Novavax, Moderna atau NIAID, Beijing Institute of Biological Products atau Sinopharm.
Pembuatan vaksin mulai dari riset sampai dianggap layak untuk produksi massal ternyata tidak sederhana. Setidaknya ada enam tahapan, dengan masing-masing tahapnya cukup panjang, harus dilalui sebelum akhirnya vaksin Covid-19 bisa diproduksi massal dari disuntikkan kepada masyarakat luas.
Tahap pertama yang dilakukan adalah penelitian dasar. Pada tahap ini, ilmuwan menelusuri mekanisme potensial berdasarkan ilmu sains biomedis. Setelah dilakukan penelitian, bakal vaksin akan dibuat dalam jumlah terbatas untuk bisa memasuki pre klinis dan uji klinis I, II, dan III.
Tahap selanjutnya, vaksin masuk tahap uji pre klinis. Dalam tahap ini dilakukan studi sel di laboratorium yakni studi in vitro dan in vivo. Studi dilakukan baik di laboratorium dan hewan. Fungsinya, untuk mengetahui apakah bakal vaksin ini aman diujikan kepada manusia atau tidak.
"Setelah melewati tahap uji pre klinis, maka vaksin akan masuk uji klinis fase I, di mana vaksin akan diberikan ke sekelompok kecil orang untuk melihat respons imun dan kekebalan yang dipicu," ujar Wiku.
Selanjutnya pada uji klinis fase II, vaksin diberikan kepada ratusan orang sehingga ilmuwan bisa mempelajari lebih lanjut tentang keamanan dan dosis yang tepat. Jumlah sampel yang diujikan minimal 100 sampai 500 sampel.
Memasuki uji klinis fase III, vaksin diberikan kepada ribuan orang, untuk memastikan keamanannya termasuk efek samping yang jarang terjadi serta keefektifannya. Uji coba ini, ujar Wiku, juga melibatkan kelompok kontrol yang diberi placebo.
"Artinya, kelompok kontrol adalah masyarakat yang disuntik tapi tidak dengan vaksin. Melalui proses uji klinis ini ilmuwan dapat mengetahui apakah vaksin akan menimbulkan efek samping atau tidak," kata Wiku.
Wiku menambahkan, mengingat belum ada vaksin Covid-19 yang sudah lulus uji klinis fase III sampai saat ini maka kewaspadaan dan monitoring terhadap kemaanan vaksin tetap harus dilakukan. Salah satu fokus peneliti dalam menjalankan uji klinis adalah mengantisipasi adanya ADE (Antibody Dependent Enhancement)
ADE, ujar Wiku, adalah suatu kondisi dari reaksi tubuh karena antibodi tubuh dalam melawan antigen, bisa berupa virus atau bakteri. Sementara antibodi yang tersedia dalam tubuh bukan antibodi yang spesifik untuk melawan virus tersebut. Hal ini menimbulkan reaksi tubuh yang negatif.
"Terkait dengan efek samping ADE, sejauh ini hanya terlihat pada penyakit Dengue dan sejenisnya, dan tidak pada virus lain. Fenomena ADE, terlihat pada MERS, SARS, Ebola, HIV, semata-semata ditemukan in silico dan in vitro dan tidak menggambarkan fenomena di manusia," ujar Wiku.
Fenomena ADE untuk SARS Cov-2 sudah diselidiki sejak percobaan pre klinis dan dinyatakan aman dan baik. Namun, karena adanya perbedaan antara hewan percobaan dan manusia, maka risiko ADE pada manusia juga harus diinvestigasi.
"Inilah pentingnya uji klinis melalui semua fase. Jika sudah lulus fase tiga dan memberikan laporan yang baik, maka kandidat vaksin bisa meminta persetujuan edar dari lembaga pengawas. Kita tidak boleh terburu-buru dan harus berpegang teguh pada data hasil uji," ujar Wiku menjelaskan.