Ahad 04 Oct 2020 21:08 WIB

Kontras: Tindak Kekerasan Libatkan TNI Meningkat

Ada 76 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota TNI. 

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Ratna Puspita
Peneliti Kontras Rivanlee Anandar (kanan)
Foto: Republika/Prayogi
Peneliti Kontras Rivanlee Anandar (kanan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan atau melibatkan anggota TNI meningkat dalam setahun terakhir. Selama periode Oktober 2019 dan September 2020, Kontras mencatat ada 76 peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan atau melibatkan anggota TNI. 

"Angka ini meningkat dari sebelumnya ketika ulang tahun TNI yang ke 74 ada 58 peristiwa," kata peneliti Kontras Rivanlee Anandar dalam diskusi daring, Ahad (4/10). 

Baca Juga

Tindak kekerasan tersebut berupa penembakan, intimidasi, penyiksaan, konflik agraria, perusakan. Kemudian bentrokan dengan anggota polisi, tindakan tidak manuasiawi, kekerasan seksual, dan pembubaran paksa.

Angka ini tersebar pada 19 Provinsi. Aktor kekerasan paling dominan dalam tubuh TNI adalah TNI AD yakni 64 peristiwa, disusul TNI AL sebanyak 11 peristiwa dan TNI AU 1 peristiwa. 

"Kami mencatat 100 orang korban luka-luka, 43 orang tewas, 4 orang ditangkap, dan 8 lainnya (tidak ada bekas fisik, misalnya diintimidasi)," ungkap Rivanlee. 

Adapun 13 dari seluruh korban adalah anggota Polri  yakni 10 luka-luka dan 3 tewas. Hal ini menunjukkan adanya kuasa yang sangat besar yang dimiliki oleh TNI sehingga anggotanya tidak hanya bisa berlaku arogan kepada warga sipil, namun juga anggota kepolisian. 

"Idealnya, kuasa yang besar dibarengi dengan mekanisme akuntabilitas dan pengawasan yang baik, namun hal tersebut belum kami temukan ada dalam tubuh TNI, " tuturnya. 

Besarnya angka kekerasan oleh TNI tidak dibarengi dengan proses reformasi peradilan militer menuju mekanisme pertanggungjawaban tentara yang melanggar HAM pada pengadilan umum. "Kami menemukan bahwa mayoritas tentara yang melakukan tindak pidana non-pudana militer masih diadili di Pengadilan Militer, yakni 27 kasus kekerasan dan kekerasan seksual yang mendapat putusan di tingkat pengadilan militer satu tahun kebelakang, meskipun UU TNI sudah menyatakan bahwa pelanggaran pidana oleh tentara seharusnya diadili di pengadilan umum, " ujarnya. 

Karenanya, Kontras meminta Panglima TNI melakukan evaluasi terhadap sistem pengawasan internal di tubuh TNI, serta memastikan adanya proses hukum yang akuntabel terhadap seluruh anggota TNI yang melakukan pelanggaran HAM. Termasuk kepada atasan baik yang memberikan instruksi ataupun melakukan pembiaran terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh bawahannya.

"Panglima TNI menjamin profesionalitas TNI dengan secara konsisten fokus di sektor pertahanan negara tanpa turut mengurus urusan-urusan sipil yang berada di luar tugas, fungsi, dan kompetensi TNI seperti penanganan pandemi. Demi menjamin supremasi sipil, pelibatan TNI pada ranah di luar pertahanan negara harus dilakukan secara terbatas dan hanya melalui kerangka OMSP sebagaimana diatur dalam UU TNI, " ujarnya.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement