REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melontarkan kritik atas langkah pemerintah yang tetap menyelenggaran pemilihan kepala daerah (pilkada) 2020. Ia menilai penyelenggaraan Pilkada 2020 ambivalen atau bertentangan dengan semangat mencegah Covid-19.
"Pemerintah di satu sisi melakukan pembatasan untuk menghindari kerumunan masyarakat dengan adanya kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat. Namun, di sisi lain memberikan peluang terjadinya konsentrasi massa pada tahapan penyelenggaraan Pilkada 2020," kata Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Firman Noor dalam telekonferensi, Kamis (1/10).
Ia mengatakan kerumunan yang berpotensi muncul bukan hanya pada pelaksanaan pilkada saja. Potensi kerumunan juga tinggi selama masa prakampanye dan kampanye. Ia menambahkan kegiatan berkumpul ini tentunya meningkatkan risiko Covid-19 di dalamnya.
Menurut Firman, sikap ambivalensi pemerintah juga terlihat dari kebijakan agar daerah menunda penyelenggaraan Pilkades 2020 hingga penyelenggaraan Pilkada 2020 selesai dilaksanakan. Penundaan ini salah satunya didasarkan pada Surat Keputusan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 9.A 2020.
"Surat edaran ini ambivalen karena baik pilkades maupun pilkada sama-sama diselenggarakan pada suasana pandemi Covid-19," kata Firman menambahkan.
LIPI pun mengusulkan agar pemerintah harus menunda pelaksanaan Pilkada 2020 hingga situasi betul-betul kondusif. Saat ini, ia menambahkan, masih ada kesempatan bagi pemerintah untuk mempertimbangkan kembali keputusan penyelenggaraan Pilkada 2020.
"Demi kepentingan jangka panjang dan kepentingan yang lebih besar. Baik terkait dengan hakikat pilkada dan demokrasi, hakikat hak-hak politik rakyat yang harusnya dilaksanakan dengan lebih komprehensif, lebih gembira ria," kata dia lagi.