REPUBLIKA.CO.ID, Oleh:Anthony Budiawan, Ekonom Senior, mantan Rektor Kwik Kian Gie Business School dan Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Pandemi corona membuat mata masyarakat terbuka betapa lemahnya keuangan negara. Pandemi membuat defisit anggaran meningkat tajam. Karena penerimaan negara anjlok, sedangkan belanja negara naik pesat.
Pandemi membuat keuangan negara dalam tekanan. Rasio pembayaran bunga mencapai 25 persen dari penerimaan perpajakan (penerimaan pajak ditambah bea dan cukai). Sedangkan penerimaan perpajakan hanya sekitar 8 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto). Rendah sekali.
Defisit anggaran 2020 diperkirakan Rp 1.000 triliun lebih. Ditambah kebutuhan bailout korporasi, baik untuk swasta maupun BUMN, utang pemerintah diperkirakan akan membengkan Rp 1.200 triliun di tahun pandemi ini.
Ketahanan APBN ternyata rapuh. Ketika menghadapi pandemi Corona, pemerintah harus menetapkan Peraturan Pemerinath Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Corona (yang sudah disahkan menjadi undang-undang). Isi Perppu intinya minta bantuan kepada Bank Indonesia.
Pertama, Bank Indonesia (BI) diminta membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar primer, yang sebelumnya tabu karena melanggar konstitusi. Atau sebagai standby buyer kalau SBN tidak diminati. Kedua, BI diminta turut menanggung beban bunga. Melalui burden sharing dan diskon bunga. Burden sharing dengan bunga 0 persen pada hakekatnya sama dengan cetak uang.
Rencananya, bantuan BI ini hanya untuk satu tahun. Tetapi sepertinya akan diperpanjang hingga 2022. Atau lebih? Bisa jadi. Karena, menurut info, DPR sedang menggoreng (baca: membahas) revisi undang-undang tentang Bank Indonesia.
Katanya sih gorengan ini inisiatif DPR. Atau sebenarnya DPR ditugaskan oleh pemerintah? Ah sama saja. Karena masyarakat melihat eksekutif dan legislatif sudah menjadi satu-kesatuan. Alias berkolaborasi. Yang seharusnya juga melanggar konstitusi dan TAP MPR.
Menurut rumor, revisi ini akan mengubah beberapa butir penting terkait UU BI. Pertama, membentuk Dewan Moneter atau Dewan Kebijakan Ekonomi Makro. Katanya, Dewan terdiri dari 5 anggota dengan ketua Menteri Keuangan. Anggota lainnya adalah Ketua Bappenas, Gubernur BI, Deputi Gubernur Senior BI dan Ketua Dewan Komisioner OJK (Otoritas Jasa Keuangan).
Pembentukan Dewan Moneter atau sejenisnya akan menempatkan BI di bawah eksekutif. Berarti struktur BI kembali ke struktur pemerintahan orde lama tahun 1953, yang kemudian berlanjut ke pemerintahan orde baru. Struktur ini membuat kebijakan moneter tidak terkendali, ‘cetak uang’ berlebihan, mengakibatkan turbulensi dan krisis ekonomi.
Kedua, Bank Indonesia akan diizinkan membeli SBN di pasar primer secara permanen. Hal ini sebenarnya yang menjadi tujuan utama revisi UU BI. Agar pemerintah bisa menjalankan politik defisit anggaran tanpa memikirkan pendanaan atau pembiayaan. Bahkan BI boleh membeli SBN tanpa bunga. Alias ‘cetak uang’. Konsekuensinya kita sudah tahu, ekonomi terpuruk, terperosok ke jurang kehancuran.
Ketiga, Bank Indonesia dibolehkan lagi memberi fasilitas pinjaman darurat kepada bank bermasalah. Dulu namanya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Revisi ini jelas akan mengembalikan status BI ke era primitif, ke era 1953.
Kalau rencana revisi dengan butir-butir utama di atas terjadi, maka sama saja dengan bunuh diri. Ekonomi akan terpuruk. Karena investor asing akan menjauhi SBN pemerintah Indonesia. Karena revisi struktur BI seperti di atas dipercaya akan menjadi ajang monetisasi utang (debt monetization) secara berlebihan. Bahasa awamnya, cetak uang. Dampaknya, rupiah akan terpuruk. Inflasi naik tajam. Ekonomi terkontraksi.
Yang juga tidak kalah penting, revisi UU yang menempatkan BI di bawah eksekutif, dan revisi UU yang membolehkan BI membeli SBN di pasar primer, akan bertentangan dengan konstitusi. Akan bertentangan dengan UUD Republik Indonesia, dan bertentangan dengan Ketetapan (TAP) MPR NOMOR XVI/MPR/1998 (TAP MPR XVI/1998). Sehingga otomatis batal demi hukum.
Pembentukan Dewan Moneter atau Dewan Kebijakan Ekonomi Makro untuk tujuan membawahi BI secara langsung bertentangan dengan Pasal 9 TAP MPR XVI/1998 yang berbunyi: Dalam rangka pengelolaan ekonomi keuangan nasional yang sehat. Bank Indonesia sebagai Bank Sentral harus mandiri, bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak luar lainnya dan kinerjanya dapat diawasi dan dipertanggungjawabkan.
Oleh karena itu, DPR sebaiknya minta pemerintah fokus pada pembenahan ekonomi sektor riil. Jangan merusak sektor moneter yang menyandang status independen, yang terbukti cukup handal selama dua puluh tahun belakangan ini.