Rabu 23 Sep 2020 17:26 WIB

Diary Penyintas Covid-19 (3): Beban Mental dari Lingkungan

Disadari atau tidak ini Covid-19 ini amat berpengaruh bagi keluaga di lingkungan.

Ruang isolasi Covid-19 (ilustrasi).
Foto: MUHAMMAD ADIMAJA/ANTARA
Ruang isolasi Covid-19 (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fauziah Mursid

Tak membantu tak apa, setidaknya berempati, jika tak mampu berempati, setidaknya jangan menyakiti.

Permalasahan yang kerap dirasakan penyintas Covid-19 maupun keluarganya. Di saat harus menerima kenyataan salah satu anggota keluarga mereka terinfeksi Covid-19 dan berusaha berfokus  untuk pemulihan, ada faktor lain yang tidak dapat dipisahkan, yakni lingkungan. Disadari atau tidak ini Covid-19 ini amat berpengaruh bagi keluaga itu di lingkungan.

Itu juga yang dialami keluarga saya. Meski saya tidak ingin menyalahkan siapapun, namun saya baru memahami bagaimana informasi yang menakutkan mengenai Covid-19 berdampak pada kami.

Sesaat setelah ibu saya dinyatakan positif Covid-19, bapak yang menyadari prinsip keterbukaan di tengah lingkungan padat langsung mengabari perangkat RT RW setempat.

Tujuannya, mengabarkan keluarga kami tengah isolasi mandiri. Karena saat itu kami masih belum tahu status anggota keluarga kami lainnya. Apalagi saat itu, halaman depan rumah kami menjadi jalan lintas bagi para tetangga lainnya.

Baca Juga: Diary Penyintas Covid-19: Hari yang Tidak Diinginkan itu Datang!

Beruntung, perangkat RT di rumah kami tanggap, langsung mendatangi kami, tentu dengan menggunakan masker, menjaga jarak di luar rumah untuk menanyakan kondisi ibu saya dan keluarga kami.

Lalu bagaimana tetangga sekitar? ada yang menutup pintu rapat-rapat, istilahnya kalau bisa lubang udara jangan sampai terbuka karena keberadaan kami. Ada yang menutup akses jalan ke rumah kami dengan bambu, belum lagi kata-kata yang kami tak sengaja dengar jika ada orang yang tetap melewati rumah kami.

Tapi, tidak sedikit juga tetangga atau kerabat lainnya yang  berupaya menyemangati atau  sekadar memberi sesuatu dengan menaruh di depan pagar rumah kami.

Saat itu rasanya ingin mengatakan tidak ada orang yang ingin terinfeksi virus ini. Pun halnya, kami. Apalagi kami tahu betul, kondisi ibu saya yang memiliki penyakit penyerta.

Jujur, berbagai pencegahan sudah kami lakukan, mengurangi intensitas kegiatan di luar rumah maupun kerumunan. Khususnya saya, satu-satunya orang rumah yang kerap bekerja ke luar rumah, sudah sejak Maret bekerja dari rumah.

Bahkan, Hari Lebaran pun, kami ingat, kami termasuk keluarga yang menutup pintu rapat-rapat untuk menahan diri adanya silaturahim secara langsung. Tujuannya, tak lain untuk mencegah penyebaran virus itu di keluaga kami.

Jika diibaratkan peribahasa Malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih, justru penularan kami dapat dari rumah sakit tempat ibu saya menjalani terapi cuci darah atau hemodialisa.

Hal hal semacam itu sebenarnya selama ini kerap dengar dari berbagai media massa, lazim dirasakan oleh para penyintas maupun keluaga dari penyintas Covid-19 di lingkungannya. Tapi saya tidak pernah membayangkan kejadian itu menimpa keluarga saya.

Rasanya ingin berkata, jika tak bisa membantu, setidaknya berempati, jika tak mampu berempati cukup tidak menyakiti.

Karena itu juga, alasan beban lingkungan yang yang membuat saya memutuskan untuk melakukan isolasi di Wisma Atlet Kemayoran. Usai tes swab saya menunjukan hasil positif sepekan setelah ibu saya dinyatakan positif Covid-19.

Ternyata, di Wisma Atlet pun, alasan ini kerap saya dengar dari penyintas Covid-19 lainnya. Alasan beban lingkungan, sementara diri sendiri harus fokus pada penyembuhan lah yang membuat akhirnya pergi dari lingkungan untuk mengurangi beban pikiran.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement