Selasa 22 Sep 2020 00:44 WIB

MA: Tim Investigasi Internal Perkara Nurhadi tak Diperlukan

Apalagi, Nurhadi bukan lagi berstatus sebagai pejabat atau pegawai di MA.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Agus Yulianto
Juru bicara Mahkamah Agung (MA) Andi Samsan Nganro
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Juru bicara Mahkamah Agung (MA) Andi Samsan Nganro

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Agung menyebut, pembentukan tim internal untuk menyelidiki lebih lanjut keterlibatan oknum Anggota MA dalam kasus suap dan gratifikasi perkara yang menjerat Eks Sekretaris MA Nurhadi  tidak diperlukan. Sebab, perkara Nurhadi sudah ditangani aparat penegak hukum dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

"Menurut MA, ikut menyelidik internal dan membentuk tim di MA terkait kasus pak Nurhadi, kami rasa tidak perlu," ujar Juru bicara Mahkamah Agung (MA) Andi Samsan Nganro  kepada Republika, Senin (21/9). 

Terlebih, kata dia, Nurhadi bukan lagi berstatus sebagai pejabat atau pegawai di MA. "Maka sebaiknya kita tunggu saja perkembangan dari proses hukum yang kini sedang berjalan di tangani KPK, " ujarnya. 

Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Lokataru mendesak agar Ketua MA Syarifuddin segera membentuk tim investigasi internal untuk menyelidiki lebih lanjut perihal keterlibatan oknum lain dalam perkara yang melibatkan mantan Sekertaris MA, Nurhadi. tersebut. 

"ICW dan Lokataru meminta Mahkamah Agung agar kooperatif dan bekerjasama dengan KPK untuk dapat membongkar tuntas perkara korupsi di internal MA, " kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam pesan singkatnya, Senin (21/9). 

Kurnia mengatakan, keterlibatan oknum lain perlu diselidiki lebih lanjut karena kasus dugaan suap dan gratifikasi yang menjerat Nurhadi berkaitan dengan penanganan perkara di MA. Terlebih, saat ini KPK juga sedang mendalami adanya dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam perkara tersebut. 

Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango, menyebutkan, bahwa lembaga anti rasuah telah melakukan gelar perkara terkait tindak pidana pencucian uang yang kemungkinan dilakukan oleh Nurhadi. ICW menilai kinerja cepat dari KPK penting diapresiasi, namun, di luar hal itu publik belum melihat adanya bentuk kerjasama yang baik dari MA untuk dapat membongkar praktik korupsi ini secara lebih menyeluruh. 

Alih-alih dapat berkoordinasi dengan baik,  pada awal Agustus lalu KPK memanggil sejumlah Hakim Agung, namun MA justru terlihat resisten dengan mendalihkan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020. Padahal dalam penegakan hukum dikenal asas equality before the law, yang mengamanatkan bahwa setiap orang tidak berhak untuk mendapatkan perlakuan khusus. 

Penting untuk diketahui bahwa Nurhadi ditetapkan tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait penanganan perkara di MA. 

Adapun perkara yang dijadikan bancakan oleh Nurhadi di antaranya: perkara perdata PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara, sengketa saham di PT MIT, dan gratifikasi dengan sejumlah perkara di pengadilan. Merujuk pada Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2005 tentang Sekretariat Mahkamah Agung, tugas dan fungsi sekretariat MA tidak bersentuhan langsung dengan penanganan perkara. 

"Tentu hal ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana Nurhadi bisa mengatur beberapa perkara di MA? Apakah ada oknum lain yang memiliki kewenangan untuk memutus perkara juga terlibat?," tegas Kurnia.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement