Kamis 17 Sep 2020 20:09 WIB

Perludem: UU Atur Penundaan Pilkada karena Bencana Non Alam

Perludem mengatakan UU atur penundaan pilkada jika pandemi Covid-19 belum berakhir.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Bayu Hermawan
Titi Anggraini
Foto: Republika/Mimi Kartika
Titi Anggraini

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini meminta pemerintah, penyelenggara pemilihan, dan DPR, tidak menutup diri atas kemungkinan penundaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020. Sebab, Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pilkada mengatur penundaan pilkada apabila pandemi Covid-19 belum berakhir.

"Penyebab penundaan pemungutan suara Pilkada 2020 dari September ke Desember adalah karena bencana nonalam Covid-19. Tapi itu juga bisa ditunda kembali apabila tidak dapat dilaksanakan karena bencana nasional pandemi covid 19 belum berakhir," ujar Titi dalam diskusi daring, Kamis (17/9).

Baca Juga

Ia menyebutkan, ketentuan tersebut diatur Pasal 201A ayat 3 UU 6/2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang perubahan UU Pilkada yang menjadi landasan penundaan pilkada akibat pandemi Covid-19. Dengan demikian, regulasi memungkinkan penundaan pilkada kembali.

"Jadi kalau ada pejabat publik yang mengatakan tidak usah diskusi-diskusi soal penundaan, lho bagaimana kita tidak diskusi soal penundaan, instrumen hukumnya saja memungkinkan kita untuk berdiskusi soal itu," katanya.

Titi melanjutkan, namun sayangnya apa yang dimaksud belum berakhir sebagaimana bunyi ketentuan dalam pasal tersebut tidak dijelaskan. Peraturan turunan pun tidak mendetailkan kondisi yang membuat pilkada ditunda atau fase dilakukannya penundaan, apakah dalam semua tahapan atau hari pemungutan suara.

"Jadi kondisi-kondisi yang bisa menyebabkan penundaan baik secara parsial ataupun secara menyeluruh terkait dengan Pasal 201A dan Pasal 120. Sayangnya KPU itu tidak kunjung mengatur," ujarnya lagi.

Ia menjelaskan, selain penundaan secara keseluruhan di daerah yang menggelar pilkada, ada ketentuan juga yang membuka ruang penundaan pilkada di daerah tertentu atau penundaan parsial. Hal ini memungkinkan dilakukan ketika ada daerah yang tidak dapat melaksanakan pilkada karena pandemi Covid-19.

Penundaan parsial itu dapat ditetapkan KPU daerah masing-masing sesuai tingkatannya. Sementara, penundaan pilkada menyeluruh, KPU RI harus mendapatkan persetujuan pemerintah dan DPR.

Titi juga menyinggung soal landasan KPU melanjutkan pilkada serentak mulai Juni lalu adalah surat Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 tertanggal 27 Mei yang ditandatangani Kepala BNPB Doni Monardo selaku Ketua Gugus Tugas. Surat itu terkait penjelasan pilkada dapat dilanjutkan dengan syarat dilaksanakan dengan protokol kesehatan Covid-19 dalam semua tahapan pemilihan.

Namun, kata Titi, kenyataannya pada pelaksanaan tahapan pendaftaran bakal pasangan calon pada 4-6 September, terjadi sejumlah pelanggaran protokol kesehatan seperti kerumunan massa, tidak menggunakan masker, dan tidak memerhatikan jaga jarak. Kejadian tersebut seharusnya menjadi evaluasi.

"Jadi ini enggak boleh lupa bahwa komitmen KPU berani melanjutkan kalau setiap tahapan pilkada itu patuh pada protokol kesehatan," ucap Titi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement