Senin 14 Sep 2020 17:09 WIB

Pusat Terkesan Kontra dengan DKI, Ini Penjelasan Airlangga

Keleluasaan daerah untuk menerapkan PSBB tidak pernah dicabut. 

Rep:  Sapto Andika Candra/ Red: Agus Yulianto
 Airlangga Hartarto
Foto: Antara/Aprillio Akbar
Airlangga Hartarto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Perkonomian Airlangga Hartarto buka suara terkait anggapan yang muncul bahwa pemerintah pusat terkesan kontra dengan berbagai kebijakan yang dirilis Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam penanganan Covid-19. Terakhir, kesan tak sejalan terlihat saat Pemprov DKI Jakarta memutuskan menerapkan kembali pembatasan sosial berskala besar (PSBB) per Senin (14/9) ini. Namun setelah 'lobi' yang dilakukan pemerintah pusat, sejumlah pengetatan direvisi oleh Gubernur DKI. 

Menanggapi munculnya kesan 'Pusat vs DKI' ini, Airlangga menjelaskan, sebenarnya yang perlu dilakukan oleh kedua pihak, baik pusat dan daerah, dalam merilis kebijakan adalah sinkronisasi. "Tentu data-data perlu disingkronkan dan yang kedua yang disampaikan ke publik harus dalam bentuk hal yang sudah diputuskan, artinya sudah ada dasar hukumnya. Karenanya, kemarin dilakukan rapat koordinasi antara pemda se-Jabodetabek antara Gubernur DKI, Jabar, dan Banten untuk menyingkronkan langkah yang harus dilakukan," ujar Airlangga usai rapat terbatas bersama Presiden Jokowi, Senin (14/9). 

Airlangga juga menambahkan, bahwa sebenarnya keleluasaan daerah untuk menerapkan PSBB tidak pernah dicabut. Yang perlu dilakukan, menurutnya, adalah koordinasi antar pimpinan, baik daerah dan pusat, dalam mengambil keputusan yang dampaknya cukup luas. 

"Apalagi, kalau ini, menyangkut berbagai hal dan terutama untuk kesehatan masyarakat," katanya. 

Kepala BNPB sekaligus Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Doni Monardo menambahkan, sejak awal pandemi pemerintah memang lebih memilih menerapkan PSBB ketimbang karantina wilayah atau lockdown. Hal ini tertuang dalam UU Kekarantinaan Wilayah nomor 6 tahun 2018. 

Dengan begitu, ujar Doni, maka seluruh daerah harus tunduk pada aturan tersebut. Dari empat opsi kekarantinaan, yakni karantina rumah, karantina rumah sakit, karantina wilayah, dan PSBB, pemerintah memilih PSBB. 

Salah satu poin pengetatan PSBB DKI Jakarta yang sempat direvisi terkait kapasitas perkantoran. Awalnya, Anies mewajiban seluruh perkantoran menjalankan aktivitas bekerja dari rumah (work from home/WFH), kecuali 11 sektor usaha esensial. Namun, setelah pertemuan dengan Menko Airlanga diadakan pada Sabtu (12/9) lalu, aturan ini sedikit berubah. 

Anies memutuskan perkantoran pada aktivitas non-esensial boleh diisi 25 persen pegawai. Pimpinan setiap kantor diminta mengatur mekanisme berkerja dari rumah untuk pegawainya.

"Apabila sebagian pegawai harus bekerja di kantor maka pimpinan tempat kerja wajib membatasi paling banyak 25 persen pegawai berada dalam tempat kerja dan dalam waktu bersamaan," katanya di Jakarta, Ahad (13/9).

Anies mengatakan, ketentuan kapasitas tampung maksimal 50 persen diizinkan pada 11 sektor usaha esensial atau yang bergerak pada usaha vital yang diizinkan beroperasional selama PSBB lanjutan. Sektor esensial itu di antaranya, sektor kesehatan, bahan pangan, dan minuman, sektor energi, sektor komunikasi dan teknologi informasi, sektor keuangan, perbankan, sistem pembayaran, dan pasar modal, dan seluruh yang berada dalam sistem keuangan di Indonesia.

Berikutnya adalah sektor logistik, sektor perhotelan, konstruksi, sektor industri strategis, sektor pelayanan dasar fasilitas publik dan industri yang ditempatkan sebagai objek vital nasional dan objek tertentu serta sektor yang memfasilitasi dukungan kebutuhan hidup sehari-hari. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement