Senin 14 Sep 2020 07:09 WIB

'Bom Atom' Pilkada: Diperkirakan 19 Juta OTG Ikut Kampanye

Ledakan kasus positif Covid-19 diprediksi terjadi pada dua tahapan Pilkada 2020.

Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) memberikan surat suara kepada pemilih saat dilaksanakan Simulasi Pemungutan Suara dengan Protokol Kesehatan Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 pada Pilkada Serentak 2020,  di TPS 18 Cilenggang, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (12/9). Pilkada serentak 2020 diprediksi akan memunculkan klaster dan meningkatkan jumlah kasus Covid-19 di Indonesia. (ilustrasi)
Foto: Antara/Muhammad Iqbal
Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) memberikan surat suara kepada pemilih saat dilaksanakan Simulasi Pemungutan Suara dengan Protokol Kesehatan Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 pada Pilkada Serentak 2020, di TPS 18 Cilenggang, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (12/9). Pilkada serentak 2020 diprediksi akan memunculkan klaster dan meningkatkan jumlah kasus Covid-19 di Indonesia. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A, Febrianto Adi Saputro, Rizkyan Adiyudha, Arif Satrio Nugroho

Lembaga survei Indobarometer memperkirakan, lebih dari 19 juta orang tanpa gejala (OTG) Covid-19 bakal ikut serta dalam tahapan kampanye pada Pilkada Serentak pada Desember 2020. Pilkada Serentak pun disarankan ditunda karena tak tersedia cukup waktu untuk melakukan langkah pencegahan.

Baca Juga

Direktur Eksekutif Indobarometer M Qodari, mengatakan, ledakan kasus positif akan terjadi pada dua tahapan Pilkada Serentak 2020. Tahap masa kampanye pada 26 September - 5 Desember (71 hari) dan tahap pencoblosan pada 9 Desember.

Pada tahap kampanye, kata dia, akan ada lebih dari 19 juta OTG yang ikut serta. Perhitungannya didasarkan pada jumlah pasangan calon (paslon) kepala daerah, yakni 734. Calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah diperkirakan pula bakal melakukan kampanye secara terpisah, sehingga terdapat 1.468 calon.

Tiap calon diperkirakan bakal mengadakan kampanye berupa rapat umum ataupun pertemuan terbatas di 10 titik setiap harinya. Jika dikalikan dengan jumlah calon sebanyak 1.468 dan total masa kampanye selama 71 hari, maka akan terdapat 1.042.280 titik penyebaran Covid-19.

Setiap titik, lanjut dia, bakal diikuti maksimal 100 orang, sesuai dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Sehingga, akan terdapat 104.228.000 orang yang mengikuti semua tahapan kampanye tersebut.

"Jika positivity rate kasus Covid-19 di Indonesia 19 persen, maka potensi OTG yang bergabung dan menjadi agen penularan dalam masa kampanye 71 hari adalah: 104.228.000 orang x 19 persen = 19.803.320 orang," kata Qodari sebagaimana dikutip Republika dari berkas presentasinya yang berjudul 'Pilkada Serentak 2020 dan Potensi Ledakan Bom Atom Kasus Covid 19', Ahad (13/9).

Positivity rate adalah rasio jumlah kasus konfirmasi positif Covid-19 berbanding dengan total tes di suatu wilayah. Semakin rendah positivity rate berarti jumlah orang yang dites semakin banyak dan menunjukkan pelacakan kontak yang memadai.

Saat ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan standar positivity rate di angka 5 persen. Cara menghitung positivity rate adalah dengan membagi total kasus positif dengan total orang yang dites, lalu dikalikan 100.

Mengacu pada data Kementerian Kesehatan, per Sabtu (12/9) total kasus positif di Indonesia yakni 214.746. Sedangkan total orang yang diperiksa mencapai 1.523.214. Artinya, kini positivity rate Indonesia berada di angka 14 persen.

Dengan perhitungan positivity rate 14 persen pun, perkiraan jumlah OTG yang bakal mengikuti tahapan kampanye akan tetap tinggi. Jumlahnya sebanyak 14.591.920 orang.

Jumlah OTG sebanyak itu baru pada tahapan kampanye. Jumlah OTG juga tak kalah banyak pada tahapan pencoblosan. Hal inilah yang disebut Qodari bom atom kasus Covid-19 dalam tahapan Pilkada Serentak 2020.

"Jika bom atom ini meledak, maka dipastikan akan terjadi ledakan nuklir kasus Covid-19 pada akhir 2020 (Natal dan Tahun Baru dalam Duka). Kapasitas rumah sakit pasti tidak akan cukup" ungkapnya.

Untuk mengatasinya, Qodari menyarankan empat bentuk pencegahan. Pertama, membagikan masker kepada seluruh rakyat. Kedua, merevisi aturan untuk menghapus semua bentuk kampanye dan mengatur protokol kesehatan saat pencoblosan.

Ketiga, memberikan sanksi tegas secara terbuka kepada calon kepala daerah yang melanggar. Keempat, KPU melaksanakan simulasi pilkada di 270 wilayah, mulai dari distribusi surat pemberitahuan pemilih, cek jam kedatangan pemilih, sampai dengan penghitungan suara.

Namun demikian, Qodari meyakini otoritas terkait tak akan punya waktu cukup untuk melaksanakan empat bentuk tindakan pencegahan tersebut. Jelang kampanye, misalnya, kini hanya tersisa waktu 14 hari saja. Oleh karena itu, ia merekomendasikan agar Pilkada Serentak 2020 ditunda.

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno memandang penudaan pilkada serentak di tengah pandemi penting untuk dilakukan. Menurutnya, pilkada perlu ditunda di daerah-daerah yang tidak patuh terhadap protokol kesehatan.

"Kalau mau, tunda untuk wilayah-wilayah yang memang sering melanggar protokol kesehatan itu, biar mereka itu jera lah sekaligus ini untuk memberikan efek jera terhadap kandidat, partai politik, dan tim sukses yang tidak mengindahkan itu ya anjuran-anjuran itu," kata Adi kepada Republika, Ahad (13/9).

Selain itu, Adi menilai pilkada juga perlu dipertimbangkan ditunda untuk daerah-daerah yang tidak hanya merah, tapi juga di daerah yang masuk zona hitam. Dari 270 daerah yang menggelar pilkada 2020, ia menaksir hanya sekitar 10-15 persen daerah yang masuk zona merah, zona hitam, dan daerah yang melanggar protokol.

"Memang harus ada kompromi. pilkada jalan tapi untuk wilayah yang taat dan patuh terhadap protokoler, yang kedua ya wilayah yang nggak terlampau merah-merah amat. Tentu dengan standar protokol yang cukup ketat," ungkapnya.

Adi juga menyoroti kurangnya penerapan sanksi tegas bagi pelanggar protokol. Menurutnya yang terjadi selama ini pemerintah justru hanya mengancam dan mengintimidasi memberikan sanksi tegas kepada masyarakat.

"Tapi pada kenyataannya enggak ada tuh yang kena sanksi pidana gara-gara melanggar protokol kesehatan itu, enggak ada," tegasnya.

"Jadi sebenarnya regulasinya ada, UU-nya ada, peraturannya ada, ini soal implementasinya aja. Makanya untuk wilayah-wilayah yang pilkadanya enggak tertib, enggak patuh dengan protokol kesehatan itu itu layak lah untuk ditimbang ditunda, termasuk wilayah yang sudah masuk kategori zona merah dan hitam itu. Kan ada tuh daftarnya kan, tidak semua," imbuhnya.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati meminta pemerintah untuk segera mengevaluasi pelaksanaan Pilkada serentak 2020. Menurutnya, jangan sampai pilkada tahun ini dilaksanakan dengan mempertaruhkan nyawa masyarakat.

"Kalau semakin memperburuk situasi penyebaran Covid-19 lebih baik ditunda saja, jangan sampai mempertaruhkan kesehatan publik," kata Khoirunnisa Nur Agustyati kepada Republika di Jakarta, Jumat (11/9).

Hal tersebut disampaikan menyusul 60 bakal calon kepala daerah yang ditemukan positif berdasarkan hasil tes usap. Puluhan bakal calon yang dinyatakan positif Covid-19 tersebar di 21 provinsi berdasarkan laporan yang diterima dari 32 provinsi.

Khoirunnisa mengatakan, diperlukan ketegasan semua pihak jika ingin tetap menjalankan dan meneruskan Pilkada ke tahapan selanjutnya. Dia mengungkapkan, ini mengingat UU Pilkada di Indonesia tidak memiliki aturan khusus mengenai penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi.

"Oleh sebab itu yang bisa dilakukan adalah dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat," katanya.

Wacana penundaan Pilkada memang tak muncul dalam rapat Komisi II DPR RI pada Kamis (10/9) pekan lalu. Pilkada serentak diproyeksikan tetap berlangsung, di mana Komisi II meminta penyelenggara untuk merumuskan aturan terkait pelanggaran protokol Covid-19 bagi para peserta Pilkada menyusul banyaknya pelanggaran protokol kesehatan yang terjadi pada saat pendaftaran.

"Komisi II DPR RI meminta Menteri Dalam Negeri, KPU RI, Bawaslu RI, dan DKPP untuk merumuskan aturan penegakan disiplin dan sanksi hukum yang lebih tegas pada seluruh tahapan penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020," kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI melalui pesan singkat yang diterima Republika.co.id.

Arwani mengatakan, aturan itu harus disiapkan selambat-lambatnya tanggal 14 September 2020. Dengan demikian, keselamatan peserta, penyelenggara pemilu, dan pemilih dapat terselamatkan.

Komisi II DPR RI juga meminta kepada Menteri Dalam Negeri untuk mengoptimalkan koordinasi dan pengawasan bersama Instansi terkait dan Kepala Daerah dan/atau Ketua Gugus Tugas Penanganan Covid-19 di daerah.

"Sehingga dapat mengantisipasi setiap potensi meluasnya penyebaran pandemi Covid-19 selama penyelenggaraan tahapan Pilkada serentak 2020," ucap politikus PPP itu.

Sebelumnya, Bawaslu melaporkan 243 bakal pasangan calon diduga melanggar protokol kesehatan Covid-19. Jumlah ini hampir setengah dari total 678 bakal pasangan calon yang telah mendaftar ke KPU. Dari total dugaan pelanggaran tersebut, 141 bakal pasangan calon yang melanggar protokol kesehatan terjadi pada 4 September dan 102 bakal pasangan calon lainnya terjadi pada 5 September.

Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, ratusan bakal pasangan calon tersebut diharuskan menjalani isolasi mandiri sesuai standar prosedur kesehatan. Dia mengungkapkan, ratusan bakal pasangan calon itu dimasukan dalam kategori OTG.

"Saya enggak hapal kondisi masing-masing ya. Tapi secara umum sepertinya dilaporkan mereka semua tanpa gejala. Belum ada yang dilaporkan sakit anu sehingga kelihatan itu enggak," katanya.

Pada Ahad (13/9), Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Hasto Kristiyanto menegaskan bahwa PDI Perjuangan tetap berharap agar pilkada serentak 2020 tetap dilaksanakan sesuai jadwal yang disepakati 9 Desember 2020.

"Mengingat pilkada serentak sudah beberapa kali ditunda dan kita sudah berkomitmen tanggal 9 Desember, sikap dari PDIP adalah pilkada tetap tanggal 9 Desember," kata Hasto melalui konferensi pers secara daring, Ahad (13/9).

Hanya saja, Hasto menambahkan, ketentuan protokol pencegahan Covid-19 tetap harus dijalankan. Seperti membatasi jumlah peserta kampanye menjadi 50 orang, lalu menyesuaikan metode kampanye dengan pemanfaatan teknologi.

"Jadi sikap PDI Perjuangan tidak berubah, dengan melihat berbagai faktor maka pilkada tetap berjalan," ujarnya.

Dirinya mencontohkan keberhasilan dalam melaksakan pemilu di tengah pandemi diperlihatkan sejumlah negara seperti Korea Selatan dan Sri Lanka.

"Sri Lanka saja berhasil di dalam menjalankan itu. Jadi maksud saya mari kita penuhi ketentuan protokol pencegahan covid tersebut dan ini justru menjadi ujian bagi kita terhadap kemampuan kita membangun disiplin total tadi, disiplin menyeluruh," ungkapnya.

photo
Kontroversi Pilkada di tengah pandemi Covid-19. - (Berbagai sumber/Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement