REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, mengatakan, proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) saat hanya diberlakukan Pilkada langsung bersifat merusak. Para calon kepala daerah ia sebut 92 persen dibiayai oleh cukong hingga pada akhirnya melahirkan korupsi kebijakan.
"Dulu merusak, pilihan langsung itu merusak rakyat karena laporan-laporan yang ada," ujar Mahfud dalam diskusi daring yang dilaksanakan oleh Pusako Fakultas Hukum Universitas Andalas, Jumat (11/9).
Salah satu hal yang merusak itu ialah permainan para cukong dalam Pilkada. Mahfud menuturkan, di banyak daerah para calon kepala daerah 92 persen dibiayai oleh cukong. Akibatnya, ketika calon kepala daerah itu terpilih lahirlah korupsi kebijakan yang menurut Mahfud lebih berbahaya daripada korupsi uang.
"Di mana-mana calon-calon itu 92 persen dibiayai oleh cukong dan sesudah terpilih, itu melahirkan korupsi kebijakan. Korupsi kebijakan itu lebih berbahaya dari korupsi uang," jelas dia.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu menyebutkan, korupsi uang masih bisa dihitung. Namun, korupsi kebijakan seperti lisensi penguasaan hutan dan tambang menyebabkan keruwetan yang lebih lagi karena timbulnya tumpang tindih kebijakan.
"Karena setiap bupati baru, membuat lisensi baru, membuat izin baru sehingga tumpang-tindih, sehingga berperkara ke MK pada akhirnya. Apa yang diperkarakan? ada sengketa kewenangan, ada pengujian UU dan sebagainya, itu akibat pilkada yang langsung itu," kata dia.
Hal lain yang juga merusak ialah politik uang. Dia menceritakan, di suatu daerah ada masyarakat yang rela tidak tidur menjelang Pilkada karena menunggu "serangan fajar" berupa pembagian amplop. Itu ia nilai sebagai salah satu hal yang merusak di tengah masyarakat.
"Katanya kalau menjelang Pilkada, rakyat itu tidak tidur sampai pagi, lampunya tidak mati. Karena apa, menunggu serangan fajar, menunggu amplop. Sehingga itu dianggap merusak rakyat," tutur Mahfud.
Untuk saat ini, kata dia, yang berlalu adalah psoes Pilkada yang dilakukan serentak dan bersifat langsung. Menurut Mahfud, itulah pilihan terbaik secara politik saat ini. Karena itu, pelaksanaannya harus dilakukan dengan sebaik-baiknya.
"Kita sudah tidak bisa mundur lagi, ini harus jalan, dan kita harus perbaiki dari waktu ke waktu. Tetapi tetap saja kita berharap Pilkada itu membangun kualitas demokrasi," terang dia.
Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merekomendasikan agar tahapan-tahapan Pilkada ditunda hingga penyebaran Covid-19 berakhir. Minimal, situasi kondoso sudah mampu dikendalikan berdasarkan data epidemologi yang dipercaya.
"Komnas HAM merekomendasi kepada KPU, pemerintah, dan DPR untuk melakukan penundaan pelaksanaan tahapan Pilkada lanjutan sampai situasi kondisi penyebaran Covid-19 berakhir," ujar Komisioner Komnas HAM, Hairansyah, saat dikonfirmasi, Jumat (11/9).
Minimal, kata dia, tahapan Pilkada perlu ditunda hingga situasi sudah dapat dikendalikan. Situasi yang telah terkendali itu pun harus berdasarkan data epidemologi yang dipercaya. Meski ditunda, menurut Hairansyah, seluruh tahapan yang sudah berjalan dapat tetap dinyatakan sah dan berlaku.
"Seluruh proses yang telah berjalan tetap dinyatakan sah dan berlaku untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi para peserta Pilkada," jelas dia.
Jika tetap dilaksanakan dengan situasi yang berkembang hingga saat ini, maka berpotensi terlanggarnya hak-hak asasi manusia. Ada sejumlah hak yang berpotensi terlanggar, yakni hak untuk hidup, hak atas kesehatan, dan hak atas rasa aman.
Komnas HAM juga menilai, penundaan tahapan Pilkada memiliki landasan yuridis yang kuat. Salah satu landasan yuridis yang disebut Komnas HAM ada pada Pasal 201 A Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Ayat 3 pada pasal tersebut berbunyi, "dalam hal pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dilaksanakan, pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana non alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, melalui mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 A."
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menerima pendaftaran pencalonan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020 sebanyak 736 bakal pasangan calon (paslon) per Jumat (11/9). Dari jumlah tersebut, 60 orang bakal calon dinyatakan positif Covid-19 berdasarkan pemeriksaan swab test.