REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menandatangani nota kesepahaman menangkal paham radikal masuk ke desa, daerah tertinggal, dan kawasan transmigrasi. Kerja sama ini telah diresmikan pada Rabu (9/9) lalu.
Mendes PDTT, Abdul Halim Iskandar mengatkaan, sebanyak 74.953 desa membutuhkan mitigasi radikalisme. Hal ini penting agar kerukunan dan sikap toleran yang selama ini terbangun di perdesaan tetap terjaga.
"Di desa kayaknya enggak perlu bicara terorisme. Di desa kita bicara tentang mitigasi, pencegahan, toleransi, kemudian saling menghargai. Karena kalau ini semua terbangun maka tidak akan ada intoleranisasi. Kalau tidak ada intoleranisasi tidak akan ada radikalisme, kalau tidak ada radikalisme tidak mungkin ada terorisme," kata Abdul Halim, dalam keterangannya.
Di sisi lain, ia mengatakan, upaya menangkal paham radikal masuk ke desa telah ia lakukan dengan menekankan aspek pembangunan desa yang tidak boleh lepas dari akar budaya desa setempat. Meski demikian, pembangunan desa juga tidak menutup diri terhadap terobosan-terobosan baru yang lebih baik.
Terkait budaya, lanjutnya, warga desa memiliki kebiasaan warisan nenek moyang yang tidak lepas dari asas kekompakan, kebersamaan, dan saling menghargai berbagai karakter sosial. Menurut dia, pertahanan terhadap akar budaya desa tersebut harus dipertahankan, guna memastikan desa tahan terhadap paham-paham radikal.
"Pembangunan desa yang tidak lepas dari akar budaya itu adalah upaya agar desa mempertahankan tradisi-tradisi bagus. Sebagaimana prinsip yang menjadi pegangan kita yakni mempertahankan tradisi lama yang masih bagus, dan mencari terobosan baru yang lebih baik lagi," ujar dia.
Terkait hal tersebut, Kepala BNPT Komjen Pol Boy Rafli Amar mengatakan, kejahatan terorisme di Indonesia telah berhasil merekrut generasi muda yang berasal dari desa dan kampung-kampung. Para pemuda yang direkrut umumnya berusia 18-25 tahun.
"Kemungkinan mereka (yang berhasil direkrut, Red) kurang pemahaman, kurang pengetahuan di bidang agamanya, kemudian ada pihak yang memengaruhi mindset alam berpikir mereka dan mereka terbawa," kata dia.
Untuk itu, kata Boy, selain pembangunan dalam bentuk fisik, pembangunan nonfisik juga penting dilakukan. Pembangunan nonfisik penting untuk membangun ketahanan masyarakat desa terhadap paham-paham radikal.
"Pembangunan non fisik tentunya bagaimana masyarakat desa mengerti, memahami tentang bangsanya, ideolgi bangsanya, hal-hal yang berkaitan dengan ideologi negara, dan prinsip cinta tanah air. Seperti prinsip para ulama di Indonesia yakni Hubbul Wathan Minal Iman," kata dia lagi.