Senin 07 Sep 2020 21:48 WIB

KPU Diminta Larang Kegiatan Pilkada yang Picu Kerumunan

Pelarangan kegiatan pilkada yang picu kerumunan bisa diatur melalui PKPU.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Andri Saubani
Peneliti Senior Netgrit, Hadar Nafis Gumay.
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Peneliti Senior Netgrit, Hadar Nafis Gumay.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendiri sekaligus peneliti Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) melarang semua kegiatan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang berpotensi menimbulkan kerumunan massa. Menurut dia, Indonesia berada dalam situasi yang sangat serius untuk memutuskan akan meneruskan tahapan pilkada atau tidak.

"Kalau mau diteruskan maka lebih baik dilarang saja semua kegiatan pilkada yang berpotensi untuk terjadi kerumunan masa," ujar Hadar saat dihubungi Republika, Senin (7/9).

Baca Juga

Mantan Komisioner KPU RI periode 2012-2017 itu mengatakan, sejauh ini kegiatan dengan melibatkan pertemuan antarpihak dalam jumlah cukup banyak masih dapat dilakukan dengan beberapa syarat atau batasan. Sekalipun disebutkan wajib mematuhi protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian Covid-19, tetapi saat pendaftaran pencalonan pada 4-6 September, muncul kerumunan massa.

Menurut Hadar, pelarangan kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerumunan massa dapat diatur melalui Peraturan KPU (PKPU). Sebab, PKPU pun disusun berdasarkan konsultasi dengan DPR, pemerintah, penyelengara pemilihan, dan harmonisasi dengan pemangku kepentingan terkait lainnya.

Hadar mengatakan, pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilihan yang dapat membuat pilkada tetap berlangsung di tengah bencana nonalam Covid-19, seharusnya bisa melakukan apapun untuk mencegah risiko penularan. Undang-undang tentang pemilihan umum maupun pilkada hanya mengatur pelaksanaan pemilihan dalam kondisi normal.

Namun, jika khawatir dengan sengketa atau gugatan di kemudian hari, maka pembuat undang-undang dapat menyusun perubahan UU Pilkada. Presiden semestinya dengan tegas mementingkan keselamatan dan kesehatan masyarakat.

Hadar mengatakan, saat ini, sanksi pelanggaran protokol kesehatan pun masih berupa teguran, peringatan, atau saran perbaikan yang belum cukup membuat peserta pilkada mematuhinya. Menurut Hadar, sebaiknya penyelenggara pilkada mencantumkan dalam PKPU maupun Peraturan Bawaslu terkait sanksi pelanggaran protokol kesehatan berupa pembatalan pencalonan.

Sebelum sanksi pembatalan pencalonan itu, pertama, penyelenggara pilkada dapat memberikan sanksi pembubaran dalam kegiatan pilkada yang terjadi kerumunan massa. Kedua, penyelengara dapat menghilangkan hak pelanggar mengikuti kegiatan pilkada berikutnya, seperti dilarang mengikuti kampanye.

Ketiga, apabila pelanggaran ketentuan protokol kesehatan masih dilakukan bakal pasangan calon, maka pencalonannya dapat dibatalkan. Kendati demikian, Hadar pun mengakui adanya kekosongan hukum terkait sanksi pembatalan pencalonan akibat melanggar aturan protokol kesehatan.

"Apakah ini sesuai dengan undang-undang, memang tidak sesuai tetapi sekarang masa pandemik yang apapun kita bisa lakukan sepanjang di-support, disepakati pembuat undang-undang, yakni DPR, pemerintah penyelenggara pemilu," kata Hadar.

Sebab, lanjut dia, terbukti saat pendaftaran pencalonan terjadi sejumlah pelanggaran protokol kesehatan seperti kerumunan massa dan mengabaikan jaga jarak. Bahkan, Hadar menduga pelanggaran aturan protokol kesehatan yang sudah diatur dalam PKPU tentang pelaksanaan pilkada dalam kondisi bencana nonalam Covid-19 dilakukan dengan sengaja.

"Seperti sudah ditata, bukan orang pinggir jalan yang karena ada ramai dia ikutan, bukan, itu orang yang sengaja memang dikumpulkan," tutur dia.

Hadar menyarankan, kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerumunan harus dilarang dan diganti dengan memanfaatkan teknologi. Kegiatan pilkada dapat dilakukan secara daring tanpa pertemuan tatap muka untuk mengurangi risiko penularan Covid-19.

"Tidak ada pilihan lain kalau gitu ya diubah undang-undangnya karena saya sudah sejak awal memperkirakan kita ini tidak bisa untuk tertib begitu apalagi para elitenya juga yang paling pertama-tama mengajak dan mengumpulkan," ucap Hadar.

Hal itu terlihat dari dikeluarkannya teguran Menteri Dalam Negeri kepada 51 kepada daerah yang melanggar protokol kesehatan Covid-19 dalam kegiatan yang berkaitan dengan pencalonan pilkada. Padahal kepala daerah merupakan pembuat aturan protokol kesehatan di daerahnya masing-masing dan juga ketua satuan tugas percepatan penanganan Covid-19 daerah.

photo
Kontroversi Pilkada di tengah pandemi Covid-19. - (Berbagai sumber/Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement