REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR--Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor berupaya mewujudkan Kota Sejuta Taman melalui Ruang Terbuka Hijau (RTH). Pemkot Bogor telah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kota Bogor tentang (RTH).
Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bogor, Rudi Mashudi menjelaskan perda itu bertujuan untuk membentuk bank tanah (land bank). Sehingga, RTH tidak hanya mengandalkan kewajiban fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum) dari pengembang perumahan di Kota Bogor. "Untuk mengakselerasi, kita inginnya ada land banking. Kita harus membeli lahan," kata Rudi saat ditemui di Bali Kota Bogor Selasa (1/9).
Berdasarkan Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 8 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Bogor 2011-2031, Pemkot Bogor harus menyediakan lahan seluas 20 persen dari luas lahan Kota Bogor. Namun, saat ini jumlah RTH di Kota Bogor masih 4,18 persen dari target 20 persen secara keseluruhan lahan di Kota Bogor.
Rudi mengungkapkan, akan menggenjot pengembangan RTH dari tingkat RT/RW untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Hal itu, telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Menteri PU Nomor.05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan.
"Kalo kita lihat di penyediaan lahan perkotaan di Peraturan Menteri PU Nomor 05 tahun 2008 itu ada, RTH di tingkat RT/RW, Kelurahan dan kota. Hirarki itu yang kita tingkatkan," jelas dia.
Rudi menambhakan, pihaknya juga telah mendorong untuk melakukan pengembangan RTH sesuai UU. Sebab, tak hanya pemerintah yang berkewajiban memenuhi 20 persen RTH, sektor swasta juga wajib memenuhi 10 persen RTH."Maka perlu diinisiasi hal lain misalnya vertikal garden, roof garden dan sebagainya karena ini potensinya," jelasnya.
Kepala Bidang Pertamanan, PJU dan Dekorasi Kota Dinas Perumahan dan Permukiman (Perumkim) Kota Bogor, Feby Darmawan menjelaskan, pihaknya tak mampu mengembangkan RTH lantaran harga tanah dipusat perkotaan cukup mahal. Apalagi, sambung Feby, tak ada anggaran yang mencukupi untuk melakukan pembelian lahan.
Sejauh ini, Feby menjelaskan, RTH hanya mengandalkan fasus fasum dari pengembang perumahan. Namun dalam proses penyerahan, terdapat sejumlah kendala yang dialami. Di antaranya, proses perizinan untuk balik nama hingga kepatuhan pengembangan perumahan terhadap aturan."Apalagi developer kabur. Sama juga beberapa kasus peruntukannya misalnya di dalam perumahan itu, RTH tapi warga menginginkan dibuat sara ibadah, gitu," jelas Feby.
Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachim, mengakui masih banyak perumahan yang tak patuh dalam menyerahkan fasus fasum. Dedie mengatakan, di Kota Bogor terdapat 290 pengembang perumahan. Namun, dari jumlah tersebut hanya ada 47 perumahan yang menyerahkan fasos fasum ke Pemkot Bogor.
Bahkan, Dedie menyebut, terdapat 100 pengembangan perumahan yang telah kabur. Padahal, Dedie mengaku, telah mewanti-wanti agar fasus fasum pengembang perumahan terus dikawal."Saya sudah minta melalui Perumkim untuk mengejar mana yang masih mungkin menyerahkan," jelas dia.
Selain itu, Dedie menjelaskan, minimnya RTH juga ditengarai lantaran kondisi fasus fasum yang tak lagi memadai. Sehingga, hal itu bertentangan dengan (Perda) Kota Bogor Nomor 13 Tahun 2009 tentang Penyediaan dan Penyerahan Sarana, Prasarana, Utilitas Perumahan dan Permukiman."Nah, di dalam perda disebut penyerahan sertifikat PSU (prasarana, sarana dan utilitas) itu harus dalam kondisi yang baik. Kalo 10 tahun yang lalu mungkin baik, kalo sekarang kan mereka sudah gak sebaik dulu," kata dia.