Selasa 01 Sep 2020 16:15 WIB

Bawaslu: Mahar Politik Rawan Terjadi di Pencalonan Pilkada

Bawaslu nilai mahar politik jadi salah satu titik rawan potensi pelanggaran pilkada

Rep: Mimi Kartika/ Red: Bayu Hermawan
Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo (kanan)
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo (kanan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mengatakan, mahar politik menjadi salah satu titik rawan potensi pelanggaran dalam pelaksanaan tahapan pencalonan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020. Praktik mahar politik kerap dilakukan bakal calon kepala daerah dengan memberikan imbalan kepada partai politik (Parpol) untuk mendapatkan rekomendasi pencalonan.

"Saya kira potensi ini masih ada sampai pada injury time, tanggal terakhir pendaftaran calon. Saya kira potensi ini akan semakin besar ketika hari-hari terakhir pendaftaran pasangan calon," ujar Anggota Bawaslu RI, Ratna Dewi Pettalolo dalam rapat koordinasi pengawasan pencalonan Pilkada 2020, Selasa (1/9).

Baca Juga

Menurutnya, bakal calon akan berusaha keras agar mendapatkan parpol sebagai "perahu" dirinya maju dalam kontestasi pilkada, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Usaha keras itu kemudian membawa bakal calon kepala daerah melakukan praktik mahar politik.

Padahal, kata Ratna, larangan praktik mahar politik secara eksplisit sudah diatur dalam Pasal 47 ayat 1 dan ayat 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Parpol atau gabungan partai dilarang menerima imbalan, serta setiap orang atau lembaga dilarang memberikan imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan pilkada.

Bahkan, sanksi dari ketentuan larangan tersebut juga sudah diatur salam Pasal 187B dan Pasal 187C UU Pilkada. Bagi parpol yang sengaja menerima imbalan pada proses pencalonan dapat dipidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan serta denda paling sedikit Rp 300 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Sementara, bagi setiap orang atau lembaga yang sengaja memberikan imbalan dalam proses pencalonan, dapat dipidana penjara paling singkat 24 bulan dan paling lama 60 bulan serta denda minimal Rp 300 juta dan maksimal Rp 1 miliar. Namun, lanjut Ratna, tidak mudah bagi Bawaslu melakukan proses pembuktian pelanggaran mahar politik.

"Pertama soal keterbatasan waktu tiga plus dua (hari), waktu yang sangat singkat ini tentu tidak mudah proses pembuktian dalam penanganan pelanggaran mahar politik," katanya.

Kemudian kendala besar kedua Bawaslu dalam melakukan proses penanganan pelanggaran mahar politik adalah laporan yang kadaluwarsa sesuai peraturan perundang-undangan. Mahar politik sering kali dilakukan di ruang-ruang tertutup dan melibatkan pihak-pihak yang saling membutuhkan.

Mahar politik baru terkuak ke publik saat salah satu pihak merasa dirugikan akibat transaksi mahar politik tersebut. Akan tetapi, dugaan mahar politik yang dilaporkan pada saat sudah melebihi tujuh hari sejak peristiwa itu diketahui.

Kendala ketiga terkait pelapor yang umumnya merupakan pemberi karena merasa dirugikan dalam praktik mahar politik mengurungkan niat melaporkan pelanggaran tersebut. Sebab, mereka juga takut saat penjatuhan sanksi dalam UU Pilkada berlaku juga bagi pemberi dan penerima.

Kemudian yang keempat, pilkada yang digelar dalam kondisi pandemi Covid-19 membuat penanganan pelanggaran menjadi terbatas. Pembatasan fisik menjadi tantangan Bawaslu dalam proses pemeriksaan kasus.

"Tetapi terhadap hal ini tentu Bawaslu akan mencari langkah-langkah strategis agar kemudian transaksi mahar politik ini sekalipun akan sulit tetap bisa kita proses," ucapnya.

Bawaslu juga menggandeng Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan penelusuran transaksi-transaksi melalui perbankan terhadap potensi dugaan aliran dana untuk kepentingan kontestasi pilkada.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement