REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengingatkan aparatur sipil negara (ASN) atas sanksi kepada mereka yang melanggar netralitas dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020. Kemendagri mendorong pemberian sanksi bagi ASN yang tidak netral baik di pusat maupun daerah sesuai dengan peraturan berlaku.
"Kami mencoba mendorong pemberian sanksi. Selama ini kesannya bahwa yang salah tidak terlalu diberi sanksi. Kita coba dorong hak tersebut karena memang ada bagian-bagian tertentu yang letaknya bukan di kami," ujar Direktur Politik Dalam Negeri Kemendagri Syarmadani, dalam kampanye virtual ketiga Gerakan Nasional Netralitas ASN, Rabu (26/8).
Ia mengatakan, Kemendagri terus menyosialisasikan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri berbagai kesempatan. Di sisi lain, kata dia, masih ada keraguan terkait penegakan hukum dalam penjatuhan sanksi.
"Ada keraguan-keraguan misalnya penegakan sanksi, memang ucapan ini sederhana, praktiknya di lapangan sangat sulit," kata Syarmadani.
Namun, lanjut dia, penegakan hukum tak boleh berhenti agar pelanggaran netralitas ASN tidak berdampak pada pelayanan publik. Tak hanya Kemendagri, beberapa pihak juga terlibat dalam penegakan hukum disiplin sesuai PP Nomor Tahun 2010 antara lain Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Badan Kepagawaian Negara (BKN), serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB).
Syarmadani juga mempertegas terkait sanksi bagi ASN tidak netral yang diatur Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) berupa kurungan dan denda. Ia mencontohkan pada Pasal 494, setiap ASN yang terlibat sebagai pelaksana atau tim kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat 3 dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 12 juta.
Kemudian, Pasal 547 menyebutkan, setiap pejabat negara yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon dalam masa kampanye, dipidana dengan pidana paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta.
Menurut dia, ancaman sanksi dalam undang-undang tersebut dapat mencegah pelanggaran netralitas ASN baik di tingkat pusat maupun daerah. Di samping itu, data per 31 Desember 2018, terdapat sekitar 3,2 juta atau 77,56 persen ASN bertugas di daerah.
Dengan demikian, potensi pelanggaran netralitas ASN juga akan lebih tinggi di daerah, apalagi dalam penyelenggaraan pilkada. Ia menyebutkan, berdasarkan data kedeputian Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bidang Pengawasan dan Pengendalian Kepegawaian, terdapat 991 pelanggaran netralitas ASN dalam pemilihan umum (Pemilu) 2019 lalu.
Sebanyak 99,5 persen ASN yang melanggar netralitas pada saat itu berstatus pegawai instansi pemerintah daerah. Sementara itu, Kemendagri mencatat, terdapat 224 kepala daerah yang akan maju dalam Pilkada 2020 sebagai pejawat. Mimi Kartika