REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri telah menjalani sidang etik oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK dalam sidang etik di gedung Anti Corruption Learning Center (ACLC). Sidang etik ini diharapkan sebagai momentum Dewas menunjukkan kinerjanya dan menjawan keraguan publik atas keberadaan yang sempat menuai kontroversial.
"Sejak dilantik memang belum kelihatan kinerjanya secara kongkrit, dengan adanya perkara ini maka harusnya menjadi momentum untuk menunjukkan kinerja Dewas," ujar Pakar Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (25/8).
Suparji menambahkan, jika ketua KPK terbukti melanggar kode etik, maka tidak ada alasan bagi Dewas untuk tidak menjatuhkan sanksi. Sebab, menurutnya, bukan berani atau tidak berani tetapi syarat untuk menjatuhkan sanksi terpenuhi atau tidak.
"Jika memang memenuhi unsur pelanggaran maka seharusnya sanksi diberikan," tegas Suparji.
Sementara itu mengenai pendapat bahwa sebaiknya kasus-kasus yang melibatkan penegak hukum semuanya dikasih ke KPK, Suparji menegaskan tidak menjadi jaminan. Artinya meski kasus-kasus yang melibatkan penegak hukum diserahkan KPK bukan jaminan akan selesai sesuai dengan mekanisme hukum yang otentik. Namun tidak menampik adanya keraguan dari masyarakat jika kasus yang melibatkan penegak hukum ditangani oleh penegak hukum yang bersangkutan.
"Ya keraguan itu, tapi pada era yang transparan dan banyaknya pihak yang melakukan pengawasan maka penegakan hukum hendaknya independent," ungkapnya.
Firli sendiri diadukan Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) terkait dengan penggunaan helikopter mewah saat perjalanan dari Palembang ke Baturaja, Sumatera Selatan, pada 20 Juni 2020 lalu. Sebenarnya sidang etik oleh Dewas tidak hanya menyidang Firli sebagai ketua KPK. Tapi juga menyidang Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap atas dugaan penyebaran informasi tidak benar.