REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia, Defny Holidin menilai perintah telah melakukan pemborosan anggaran melalui penyewaan jasa influencer. Menurutnya, penyebaran informasi melalui influencer kerap bergeser dari informasi yang seharusnya.
"Sebetulnya peran influencer itu sama sekali tidak diperlukan dan secara anggaran rasionalitas anggaran, kita akan mengatakan itu pemborosan," kata Defni Holidin di Jakarta, Jumat (21/8).
Dia mengatakan, secara prinsip cara kerja influencer dari sisi alokasi anggaran memperlihatkan bahwa pemerintah belum konsisten dalam menjalankan kebijakan mereka. Dia mengatakan, pemerintah belum memiliki satu arah prioritas yang jelas dalam membuat dan melaksanakan kebijakan.
Defny menilai, selama ini informasi yang disebarkan influencer kerap berbelok sehingga membahayakan publik. Selain itu, sambung dia, peran influencer dan buzzer ini kini malah beralih dari alat sosialisasi menjadi alat propaganda baru untuk menciptakan persepsi positif dari masyarakat.
"Jadi prinsipnya, kalau kita lihat dari cara kerja influencer dari sisi alokasi anggaran dan dari sisi pemerintah belum konsisten, maka sebetulnya peran influencer itu sama sekali tidak diperlukan," katanya.
Dia menerangkan, setiap kementerian dan lembaga sudah memiliki anggaran untuk melakukan sosialisasi kebijakan tertentu. Dia beroendapat bahwa pemanfaatan influencer sedikit banyak memperlihatkan bahwa lembaga kehumasan atau public relatiom di masing-masing kementerian tidak berjalan.
Sebelumnya, Indonesian Corruption Watch (ICW) mengungkapkan bahwa pemerintah telah menghabiskan dana Rp 90,45 miliar untuk belanja jasa influencer. Dana puluhan miliar rupiah itu digunakan pemerintah pusat mulai dari 2017 hingga 2020.