REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito angkat bicara terkait hasil riset obat virus SARS-CoV-2 alias Corona jenis baru. Dia mengatakan, setiap hasil riset yang ditemukan jika berhasil tentu akan dillaporkan ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
"Tentunya, kalau kita sudah memiliki contoh baik dan belum ada di dunia pasti harus dilaporkan kepada WHO," kata Wiku Adisasmito dalam konferesi virtual di Jakarta, Kamis (20/8).
Namun, dia mengatakan, seluruh proses penelitian obat Covid-19 harus melalui proses kaji etik dalam konteks uji klinis dan dengan ketat dan baik. Dia mengatakan, hal tersebut agar hasil penelitian itu dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan berdasarkan evidence atau bukti.
Dia mengatakan, saat ini semua pihak sedang berusaha mencari obat yang paling efektif untuk Covid-19. Dia melanjutkan, regimen obat saat ini sudah didiskusikan oleh asosiasi dokter.
Sebelumnya, Universitas Airlangga (Unair) Surabaya bersama TNI AD, Badan Intelijen Negara (BIN) rampung melakukan penelitian obat Covid-19. Obat itu telah melalui uji klinis fase ketiga dan tinggal diregistrasikan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebelum siap produksi massal dan diedarkan ke masyarakat.
Namun BPOM mengatakan bahwa temuan obat untuk virus Covid-19 yang dikembangkan Unair-BIN-TNI AD merupakan kategori obat keras. Mereka menyebut ada potensi efek samping dari pemberian obat Covid-19 tersebut.
BPOM mengatakan bahwa uji klinis obat Covid-19 oleh Unair-BIN-TNI AD belum memenuhi prosedur uji klinis. Dijelaskan BPOM, prosedur uji klinis obat harus dilakukan kepada subjek acak melihat dari gejala penyakit (ringan, sedang, berat).
Uji klinis juga harus mempertimbangkan demografi penduduk dan harus memberikan dampak yang signifikan kepada subjek. Sementara subjek uji klinis obat Covid-19 adalah calon perwira di Secapa, Jawa Barat dimana kasus konfirmasi positif diketahui kebanyakan merupakan kasus dengan gejala ringan.