Kamis 20 Aug 2020 08:46 WIB

Klaster Ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja Dibahas Bulan Depan 

Klaster ketenagakerjaan menjadi poin yang paling diprotes oleh kelompok buruh.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Agus Yulianto
Wakil Ketua Baleg DPR RI Achmad Baidowi
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Wakil Ketua Baleg DPR RI Achmad Baidowi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi mengatakan, saat ini pihaknya masih membahas daftar inventarisasi masalah (DIM) 10 klaster RUU Cipta Kerja. Jika itu semua sudah selesai, ada kemungkinan bahwa klaster ketenagakerjaan akan dibahas mulai September mendatang.

"Kapan terkahir itu, kemungkinan bulan depan setelah semua selesai, masuk ke klaster ketenagakerjaan," ujar Baidowi di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (19/8).

Pembahasan klaster tersebut dipastikannya berlangsung terbuka. Apalagi, DPR dan 18 kelompok buruh telah membentuk tim perumus RUU Cipta Kerja.

"Kita kan hadir untuk dengar aspirasi mereka, lalu kita sampaikan nanti oleh masing-masing fraksi ketika rapat bersama pemerintah," ujar Baidowi.

Adapun hasil dari tim perumus itu, akan menjadi salah satu acuan fraksi dan panitia kerja (Panja) pada pembahasan RUU Cipta Kerja. Mengingat, klaster ketenagakerjaan menjadi poin yang paling diprotes oleh kelompok buruh.

"Paling tidak ketika fraksi susun DIM terkait ketenangakerjaan, fraksi sudah memiliki gambaran konkret apa yg diinginkan pekerja. Itu sudah sangat maju drpada hanya aksi," ujarnya.

Sebelumnya, DPR bersama 18 serikat buruh diketahui telah membentuk tim perumus yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad. Meski ikut bergabung dalam tim tersebut, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menegaskan bahwa pihaknya belum tentu setuju terhadap RUU tersebut.

“Jadi seolah-olah sudah ikut proses, setuju. Belum tentu, karena dalam proses itu ada yang setuju, ada yang tidak setuju,” ujar Said di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (18/8).

Bergabungnya KSPI dalam tim perumus bukan soal legitimasi, melainkan memang kewajiban DPR yang wajib menampung aspirasi serikat buruh. Apalagi, proses politik RUU Cipta Kerja disebutnya tidak terbuka dan cenderung merugikan kelompok pekerja.

“Sikap kami sampai saat ini menolak RUU Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan omnibus law. Pasal-pasal di luar ketenagakerjaan pun kami tolak kalau itu merugikan,” ujar Said,

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement