REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Bambang Noroyono, Antara
Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Indragiri Hulu, Riau, Hayin Sutikto bersama Kasipidsus Kejari Indragiri Hulu Ostar Al Pansri, serta Kasubsi Barang Rampasan pada Seksi Pengelolaan dan Barang Rampasan Kejari Indragiri Hulu Rionald Febri Ronaldo telah ditetapkan sebagai tersangka. Ketiganya dipastikan berstatus tersangka dalam perkara korupsi berupa penerimaan dengan paksaan pencairan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) 2019.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango menilai penanganan kasus dugaan pemerasan oleh tiga pejabat di Kejaksaan Negeri Indragiri Hulu, Riau, idealnya ditangani oleh KPK. "Menurut saya, idealnya dugaan tipikor (tindak pidana korupsi) oleh aparat penegak hukum ditangani KPK. Itu akan lebih fair untuk menumbuhkan rasa kepercayaan publik," kata Nawawi dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (19/8).
Ia mengatakan dalam Pasal 11 Undang-Undang KPK disebut KPK berwenang menangani perkara korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum. "Dan juga kewenangan yang sebenarnya bersifat spesialis ini secara jelas disebutkan dalam Undang-Undang KPK, yaitu dalam Pasal 11 yang menyebutkan pada pokoknya, KPK berwenang menangani perkara korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum," ungkap Nawawi.
Di berbagai negara lain, lanjut dia, pada umumnya kehadiran lembaga-lembaga antikorupsi dilatarbelakangi oleh ketidakpercayaan terhadap aparat pnegak hukum di negara tersebut dalam menangani perkara korupsi yang dilakukan dalam lingkungan kerja aparat itu sendiri.
"Saya tidak bicara soal pengambilalihan. Tetapi menurut saya akan lebih pas kalau ada kehendak sendiri untuk melimpahkan penanganan-penanganan perkara semacam itu kepada KPK dan KPK tidak hanya berada dalam koridor supervisi?," ujar Nawawi.
KPK berharap Kejakgung dapat obyektif dan profesional dalam mengusut kasus dugaan pemerasan tersebut. "KPK berharap penyelesaian perkara yang melibatkan oknum di internal lembaga tersebut dilakukan secara objektif dan profesional," kata Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri dalam pesan singkatnya.
KPK sempat menyelidiki kasus dugaan pemerasaan ini. Bahkan, KPK sempat meminta keterangan terhadap puluhan Kepala SMP di Inhu yang menjadi korban pemerasan. Ali menyatakan, KPK telah berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung terkait penanganan kasus ini.
"Tentu KPK mengapresiasi langkah yang dilakukan Kejagung yang cepat bertindak dalam penanganan perkara yang diduga melibatkan oknum jaksa di internal lembaganya," ujar Ali.
Ali menegaskan, pada prinsipnya, KPK siap berkoordinasi dan memberikan bantuan kepada aparat penegak hukum lain termasuk dalam hal ini Kejaksaan Agung sebagaimana yang selama ini juga sudah berjalan di penanganan beberapa perkara.
"Koordinasi dan supervisi yang akan dilakukan KPK dimaksud adalah salah satu tupoksi KPK yang diberikan oleh UU dan akan dilakukan dalam rangka memastikan bahwa penanganan perkara yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan mekanisme dan proses penanganan perkara," terang Ali.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Hari Setiyono mengatakan, ada enam pejabat di Kejari Indragiri Hulu yang dicopot jabatannya. Selain tiga tersangka tersebut, yang juga dicopot dari jabatan, yakni Kasi Intelijen, Kasi Perdata dan Tata Usaha Negera (Da-TUN), serta Kasi Pengelolaan Barang Bukti, Rampasan pada Kejari Indragiri Hulu. Keenam jaksa tersebut, terlibat dalam aksi pemerasan, dan penerimaan dengan paksaan terkait dana BOS 2019 di Indragiri Hulu, Riau.
Kasus ini mencuat setelah 64 Kepala Sekolah Menengah Pertama (SMP) se-Indragiri Hulu, mengundurkan diri lantaran diperas oleh para jaksa. Hari menerangkan, pemerasan yang dilakukan para jaksa itu, mulai dari Rp 10 juta sampai Rp 65 juta. Dari hasil penyidikan sementara, total pemerasan dan penerimaan dengan cara paksa itu, di antara Rp 650-an juta, sampai Rp 1,4 miliar.
Hari menerangkan, sejak kasus tersebut mencuat, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau, sudah melakukan pengawasan. Hasil dari pengawasan tersebut, menyebutkan adanya perbuatan tercela yang dilakukan para jaksa, dan ditemukan adanya peristiwa pidana korupsi.
Pengawasan dari Kejati, pun disorongkan ke Kejakgung. Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) di Kejakgung, mengambil keputusan untuk mencopot keenam jaksa tersebut dari jabatan masing-masing.
“Dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang dilakukan Jamwas, menyimpulkan bahwa terhadap enam pejabat jaksa tadi, dinyatakan terbukti melakukan perbuatan tercela,” terang Hari, Selasa (18/8) malam.
Jamwas menebalkan Pasal 4 angka 1 dan 8 juncto Pasal 13 angka 1 dan 8 Peraturan Pemerintah (PP) 53/2020 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS). “Yang intinya menyebutkan setiap PNS dilarang menyalahgunakan wewenang, dan menerima hadiah, atau sesuatu pemberiaan dari siapapun juga yang berhubungan dengan jabatan, atau pekerjaannya,” terang Hari.
Dari LHP Jamwas, pun kata Hari menyebutkan adanya dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan para jaksa tersebut. Namun, terkait pembuktian Jamwas menyerahkan penyidikan kepada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus). Kata Hari, dari hasil penyidikan di Jampidsus, tiga dari enam jaksa tersebut, ditetapkan sebagai tersangka.
“Yaitu, HS, Kajari Indra Giri Hulu, OAP Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus, dan RFR Kasubsi Barang Rampasan pada Seksi Pengelolaan Barang Bukti, dan Barang Rampasan,” terang Hari. Terhadap tiga jaksa tersangka tersebut, kata Hari, penyidik akan menjerat dugaan Pasal 12 huruf e, atau Pasal 11, atau Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf b UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) 20/2001.
“Setelah ditetapkan sebagai tersangka, terhadap tiga jaksa tersebut, dilakukan penahanan selama 20 hari,” kata Hari. Ketiga jaksa tersangka itu, ditahan di Rutan Salemba, cabang Kejakgung, Jakarta Selatan (Jaksel). Hari menerangkan, selain menetapkan tersanga dan melakukan penahanan, terhadap ketiga jaksa tersebut diberhentikan dari jabatan.