REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Satuan Tugas Penanganan Covid-19 sedang mengkaji efektivitas rapid test dan swab test bagi pelaku perjalanan demi mencegah penularan infeksi virus corona. Juru Bicara Satgas, Wiku Adisasmito, menyebutkan bahwa hasil kajian segera disampaikan kepada publik bila sudah rampung nanti.
"Apakah rapid (test) akan dihapuskan untuk pelaku perjalanan, kami sampaikan bahwa saat ini satgas sedang melakukan kajian terhadap opsi-opsi yang terbaik untuk pelaku perjalanan dalam rangka hindari penularan dari satu daerah ke daerah lain," kata Wiku menjelaskan dalam keterangan pers di Kantor Presiden, Selasa (18/8).
Seperti diketahui, calon penumpang harus menunjukkan hasil rapid test Covid-19 nonreaktif atau hasil swab test negatif untuk melanjutkan perjalanan dengan pesawat terbang atau kereta api. Hasil tes sendiri berlaku untuk 14 hari.
Namun penerapan syarat rapid test bagi pelaku perjalanan ini dianggap tidak efektif karena kerap terjadi false negative pada hasilnya. Sejumlah pihak pun mulai mendorong pemerintah untuk menghapuskan aturan tentang rapid test ini.
Dalam kesempatan yang sama, Wiku juga merespons tudingan bahwa kebijakan rapid test sengaja dibuat untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu, terutama BUMN dan perusahaan swasta yang mengimpor alat rapid test dalam jumlah banyak. Menurutnya, pemerintah sudah cukup tegas dengan membatasi tarif atas layanan rapid test sebesar Rp 150 ribu.
"Untuk menghindari bussiness fraud, Kemenkes merilis aturan tersebut. Harga tertinggi adalah Rp 150 ribu untuk individu. Kami masih bekerja keras untuk memperluas kapasitas PCR test sampai 30.000 tes per hari. Dan memastikan sesuai dengan standar WHO dengan mengembangkan alat tes sendiri," katanya.