REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah pandemi Covid-19, sektor swasta diharapkan dapat bekontribusi lebih masif dalam mengatasi dampak perubahan iklim serta mencapai ekonomi hijau yang inklusif dan berkelanjutan. Hal tersebut sejalan dengan upaya pemerintah saat ini lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.
Topik tersebut menjadi fokus webinar bertema “Pathways to National Climate Resilience” yang diselenggarakan Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD) yang menggandeng KLHK serta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Mengambil aksi untuk perubahan iklim juga merupakan bagian dari implementasi Tujuan Nomor 13 dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yang diinisiasi PBB sejak 2015 lalu.
Webinar ini hadir sebagai respons untuk turut menyoroti aspek pemulihan lingkungan selain hanya fokus pada sektor ekonomi dan sosial. Risiko bencana atas dampak perubahan iklim diprediksi sangat besar terutama bila penduduk dunia gagal melakukan transformasi sistematis untuk membalikkan kerusakan-kerusakan alam yang diakibatkan oleh aktivitas manusia.
The Global Risks Report 2020 untuk pertama kali dalam sejarah melaporkan 5 risiko teratas yang mengancam umat manusia pada 10 tahun ke depan yang semuanya terkait dengan iklim dan lingkungan. Dari urutan teratas, yaitu cuaca ekstrim, kegagalan aksi iklim, bencana alam, kerusakan keanekaragaman hayati serta bencana alam yang disebabkan oleh kegiatan manusia.
Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ruandha Sugadirman mengatakan, sebagai pemilik hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia, Indonesia dapat berperan besar atas mitigasi perubahan iklim dunia. Dari upaya mitigasi perubahan iklim, pemerintah berkomitmen menurunkan emisi GRK kita sebesar 29 persen dibandingkan scenario business as usual (BAU) dengan sumber daya sendiri dan bisa mencapai 41 persen dibandingkan dengan BAU dengan bantuan dunia internasional pada tahun 2030 nanti.
"Kita semua sebagai komponen bangsa dapat berkontribusi dari hal yang paling kecil dengan mengubah pola perilaku yang lebih ramah lingkungan demi warisan dunia yang lebih baik untuk generasi mendatang,” kata Ruandha dalam rilisnya, Kamis (13/8).
Demi mendukung penurunan emisi gas rumah kaca dan pembangunan rendah karbon yang menjadi target, pemerintah telah mengintegrasikan perubahan iklim serta bencana ke dalam perencanaan pembangunan baik di level nasional maupun daerah. Bahkan, dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden 18 Tahun 2020 merefleksikan perhatian pemerintah yang besar pada isu perubahan iklim.
Hal ini dapat dilihat dari salah satu babnya yang secara khusus membahas lingkungan hidup, ketahanan bencana, dan perubahan iklim Meski begitu, pemerintah tidak dapat bekerja sendiri.
Sektor bisnis utamanya, dapat berperan besar dalam membantu pencapaian rencana ini. IBCSD sendiri dengan jejaring di level global, tengah mendorong perusahaan anggotanya untuk bersama-sama memberikan statement sebagai suara bersama dari sektor swasta untuk melindungi, memulihkan, dan menggunakan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Chairman IBCSD Sihol Aritonang dalam sambutannya, mengatakan, sustainability bukan lagi sekadar ajakan untuk menjaga lingkungan, tapi sudah menjadi salah satu penentu daya saing sebuah bisnis. "Beberapa contoh dilakukan oleh anggota IBCSD, yang menggambarkan bahwa sektor swasta memiliki peran yang besar dalam mendukung ketahanan iklim nasional serta tercapainya target-target SDGs dengan upaya melindungi dan memperbaiki penggunaan ekosistem di Indonesia,” kata Sihol.
APRIL Group, pada 2013 menginisiasi program Restorasi Ekosistem Riau (RER) yang berkomitmen melindungi, merestorasi, dan mengonservasi ekosistem di lahan gambut serta menjaga stok karbon dan melestarikan keanekaragaman hayati di konsesi seluas 150.693 ha di Provinsi Riau, setara dengan luasan dua kali wilayah Singapura.
“Keberadaan RER merupakan peran sektor bisnis dalam turut menjaga dan meningkatkan ketahanan iklim nasional. Program RER membantu menjaga keanekaragaman hayati yang beberapa diantaranya endemik Sumatra dan untuk terus menyediakan jasa lingkungan bagi masyarakat,," kata Nyoman Iswarayoga, External Affairs Director RER, Grup APRIL selaku salah satu pembicara.
Selain itu, Abu Ashar, Director of Environment & Energy, PT Vale Indonesia, mengatakan perusahaan tambang tempatnya bernaung juga membangun peta jalan menuju penciptaan energi bersih sebelum 2030. Sebagai bagian dari komitmen Perusahaan Vale Global menuju carbon neutral tahun 2050, PT Vale Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi rumah kaca sampai 33 persen.
Bersama dengan Abu Ashar, hadir pula sebagai pembicara, Ir. Medrilzam, M.Prof.Econ, Ph.D, Direktur Lingkungan Hidup, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ BAPPENAS; serta Marcel Silvius, Indonesia Country Representative, dari Global Green Growth Institute (GGGI Indonesia).
Dalam kesempatan ini, Marcel Silvius menekankan pentingnya perencanaan pertumbuhan hijau pasca pandemi. "Saat ini, lebih dari sebelumnya, sangat penting bagi Indonesia untuk mempertimbangkan manfaat dari pembangunan ekonomi hijau dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, inklusif, dan tangguh,” kata beliau.
Marcel Silvius pun memberi contoh investasi pada energi terbarukan yang akan menyediakan setidaknya dua kali lebih banyak lowongan kerja, dan dengan kualitas lebih tinggi, daripada investasi pada bahan bakar fosil. Begitu juga investasi terhadap solusi-solusi pro-alam, seperti agroforestri berkelanjutan yang berbasis masyarakat, yang dapat merevitalisasi kawasan pedesaan yang terdegradasi, seperti lahan gambut di Indonesia, dan membantu mencapai komitmen Indonesia untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
“Melalui kerja sama erat kami dengan Bappenas dan KLHK serta mitra pemerintah lainnya di tingkat nasional dan provinsi, GGGI terus mendukung Pemerintah Indonesia untuk mewujudkan jalur pemulihan pertumbuhan hijau dan pembangunan rendah karbon,” tambah Marcel Silvius sambil menjelaskan komitmen GGGI dalam mendukung Pemerintah Indonesia.
Selain keempat pembicara, Prof. Dr. Emil Salim, mantan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup pun turut hadir dalam webinar ini. Bertindak sebagai penanggap, Emil Salim mengamini urgensi untuk pembangunan rendah karbon di Indonesia. Hal itu juga yang disampaikan oleh penanggap lainnya, Gita Syahrani, Direktur Eksekutif Lingkar Termu Kabupaten Lestari.
Webinar yang didukung oleh APRIL, PT Vale Indonesia, GGGI dan L’Oreal Indonesia ini merupakan seri terakhir dari rangkaian webinar yang diselenggarakan oleh IBCSD sejak bulan Juni lalu. Secara total, ada empat webinar yang telah diselenggarakan dan mencakup tiga pilar SDG, baik di pilar ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Seluruh tayangan ulang webinar dapat disaksikan kembali melalui akun Youtube IBCSD.