Kamis 13 Aug 2020 22:34 WIB

99 Persen Karhutla Disebabkan Perilaku Manusia

Perilaku manusia menyebabkan karhutla.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Muhammad Hafil
99 Persen Karhutla Disebabkan Perilaku Manusia. Foto: Asap mengepul akibat kebakaran lahan, di Kerinci, Jambi, Sabtu (8/8/2020). Gubernur Jambi Fachrori Umar menyebutkan sebanyak 258 desa di sejumlah kabupaten di provinsi itu berstatus daerah rawan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Foto: Antara/Wahdi Septiawan
99 Persen Karhutla Disebabkan Perilaku Manusia. Foto: Asap mengepul akibat kebakaran lahan, di Kerinci, Jambi, Sabtu (8/8/2020). Gubernur Jambi Fachrori Umar menyebutkan sebanyak 258 desa di sejumlah kabupaten di provinsi itu berstatus daerah rawan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 99 persen kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang setiap tahun terjadi di Tanah Air diakibatkan oleh ulah jahat manusia. Ini terlihat dari 80 persen lahan yang terbakar berubah menjadi kebun.

"Berdasarkan data yang kami kumpulkan, termasuk pakar di bidang lahan gambut ternyata terungkap bahwa 99 persen kebakaran itu diakibatkan oleh perilaku manusia. Artinya manusia yang membakarnya, hanya 1 persen yang disebabkan oleh alam," kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo, saat mengisi webinar Kata Data bertema Ancaman Kebakaran di Tengah Pandemi, Kamis (13/8).

Baca Juga

Bahkan, dia melanjutkan, salah satu pakar dari Universitas Gadjah Mada (UGM) mengoreksi bahwa 100 persen kebakaran diakibatkan oleh manusia karena kondisi lahan di Indonesia berbeda dengan negara lain yang memungkinkan terjadi kebakaran akibat gesekan daun dan pohon seperti pinus. Terbukti, dia melanjutkan, 80 persen lahan yang terbakar itu pada akhirnya menjadi kebun.

Ia membandingkan karhutla yang terjadi mulai 2015 sampai 2019, ternyata cuaca memberikan pengaruh yang sangat signifikan. Ia menyebutkan jika lahan yang terbakar selama 2015 lalu seluas 2,6 juta hektare area maka 2019 lebih kecil yaitu 1,9 juta hektare area. Jumlah titik api karhutla yang terjadi di 2015 versus 2019, dia melanjutkan, tidak berbeda.

"Kerugian ekonomi akibat karhutla 2015 mencapai 16,1 miliar dolar AS sedangkan kerugian ekonomi karhutla 2019 berdasarkan data World Bank yang dikeluarkan Kemenkeu mencapai 5,2 miliar dolar AS," ujarnya.

Ia menjelaskan, ketika terjadi kemarau basah maka luas lahan yang terbakar menjadi kecil tetapi ketika terjadi kemarau panjang mengakibatkan banyaknya kebakaran.

Padahal, dia melanjutkan, karhutla terjadi di lahan gambut yang kedalamannya bisa lebih dari 30 meter.

Karakteristik lahan ini, dia melanjutkan, ketika terbakar memang di atas permukaan tidak terlihat api. Padahal, dia menambahkan, titik api bisa muncul di kedalaman 7 meter dan asap terlihat sangat pekat. Kemudian, meskinupaya pemadaman telah dilakukan maka api akan terlihat mati kemudian dalam beberapa hari kembali menyala dan menimbulkan asap api. Padahal, ia menyebutkan jika kebakaran terus terjadi bisa menyebabkan asma warga sekitar.

"Jadi bisa dibayangkan beratnya petugas kami, termasuk TNI dan masyarakat saat memadamkan api," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement