Jumat 07 Aug 2020 14:57 WIB

Negara Hukum dan Ruang Publik

Hukum haruslah lebih memberikan secara detail ihwal kebebasan dan ketidakbebasan.

Dian Andriasari, Dosen Hukum Pidana dan Kriminologi Unisba, Aktivis Perempuan
Foto:

Fokus pada kebijakan legislasi misalnya. Pertarungan yang menentukan nasib dua rancangan undang-undang ke depan, yakni RUU-PKS dan RUU-Ketahanan keluarga, misalnya. Menjadi dilema bagi negara, manakah yang kelak akan disahkan.

Dibutuhkan komunikasi wacana karena tidak ada pemahaman yang mengemuka tanpa menggali secara radikal, baik dalam tataran wacana maupun pengetahuan atau otoritas tertentu, baik secara politis maupun secara sosial. Kembali kepada fungsi hukum sebagai pembacaan terhadap nilai-nilai yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat.

Hukum mencoba untuk menetapkan pola hubungan antar manusia dan merumuskan nilai-nilai yang diterima masyarakat ke dalam bagan-bagan atau stereotif. Perkaitan norma dengan nilai memang paling banyak dibahas oleh ahli hukum dan sosiolog. Parsons misalnya, menyatakan, yang disebut norma itu adalah suatu deskripsi tertulis mengenai suatu rangkaian perbuatan yang kongkret dan yang dipandang sebagai suatu hal yang dinginkan.

Menyoal RUU ketahanan keluarga yang mendapatkan dukungan lebih besar daripada RUU PKS, atau pada faktanya sama-sama menuai kritik. Mengandung persoalan mendasar, di antaranya dipandang mengintervensi ranah privat karena terlalu mengatur ranah etika, diskriminasi gender dan dinilai memarginalisasi kelompok-kelompok tertentu.

Sementara itu RUU Penghapusan Kekerasan seksual yang sudah mewujud menjadi pertarungan ideologi agama dan mazhab pemikiran yang dicurigai bertentangan dengan nilai keindonesiaan. Saat ini nasibnya semakin tidak jelas, padahal sampai dengan saat ini angka korban kekerasan seksual semakin bertambah dan menjadi anacaman nyata.

Tarik menarik RUU PKS dalam prolegnas berikut perdebatannya, padahal kondisi angka kekerasan terhadap perempuan terus bertambah, social justice yang dijanjikan oleh suatu negara hukum mestilah diejawantahkan. Petisi penolakan terhadap RUU PKS ini menambah riuh perdebatan di ruang publik, ada kecurigaan bahwa RUU ini akan mempromosikan nilai barat. Padahal draft naskah akademik RUU tersebut disusun berdasarkan pengalaman korban dan pengalaman advokasi.

Publik tentu tidak melupakan kisah Yuyun, anak perempuan 14 tahun di Bengkulu yang dibunuh dengan cara yang keji, sementara itu hukuman bagi para terdakwa di pengadilan masihlah jauh dari rasa keadilan keluarga korban. Dan hukum akan selalu mengatakan, pada saat yang bersamaan ”bahwa hukum memang mengaturnya demikian, belum ada aturan hukum yang mamadai yang mengatur persoalan tersebut”. Hukum an sich dan realitas sosial an sich.

Padahal sesungguhnya hukum selalu beririsan dengan ruang publik, bahwa hukum merupakan suatu idea yang sarat nilai, ia menunjuk pada aspirasi yang membedakan ciri perkembangan masyarakat tertentu, latar belakang susunan masyarakat dan nilai-nilai tertentu, yaitu demokrasi.

Lalu bagaimanakah sikap yang hendak diambil oleh negara dalam persoalan ini?

Apakah ketakutan akan tuduhan bahwa RUU PKS bertentangan dengan nilai agama tertentu, menjadi alasan negara berdiri dalam posisi yang netral dan membiarkan persoalan yang mempertaruhkan hajat hidup orang banyak hanya sekadar menguap dan menjadi bias?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement