REPUBLIKA.CO.ID, Mahesa (7 tahun) tengah berlari riang saat matahari hendak terbenam di antara gunungan sampah TPA Sumur Batu, Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi. Ia dan kawan-kawan sebayanya sangat antusias menyambut lebaran Idul Adha yang akan segera tiba keesokan hari.
Layaknya anak usia belia pada umumnya, bocah berkepala plontos itu memang tampak normal-normal saja. Dia masih bisa tertawa, bermain dan menebar kegembiraan. Tahun ini seharusnya jadi tahun yang amat penting bagi Mahesa. Ia resmi menginjakkan kaki di Sekolah Dasar sejak 13 Juli 2020 lalu.
Namun, ia tak bisa berangkat ke sekolah yang hanya berjarak kurang dari 2 km dari kediamannya itu. Pasalnya, seluruh sekolah di Kota Bekasi masih harus menjalani sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) akibat adanya pandemi Covid-19.
Kondisi PJJ mengharuskan para siswa belajar dari rumah, tentu menjadi PR tersendiri bagi orang tuanya. Ibunda Mahesa, ditemui di lokasi yang sama mengaku pusing tak karuan. PJJ ini memang menuntut orang tua siswa terus proaktif.
Namun, pada kenyataannya sarana dan prasarana PJJ tidak mendukung. Selain itu, kondisi ini diperparah dengan berkurangnya pendapatan keluarga yang turun drastis sejak pandemi Corona.
“Untung saja sekolahnya libur (dari rumah). Sekarang mah susah. Harga (sampah) turun banget,” kata Mama Mahesa, begitu ia ingin disapa saat ditemui Republika, Kamis (30/7).
Pandemi Covid-19 cukup menghantam penghasilannya. Dari yang tadinya bisa Rp 80 ribu hingga Rp 100 ribu per hari, jadi hanya Rp 60 ribu–Rp 70 ribu saja. Uang itu, diakuinya hanya cukup untuk membeli mie dan telur satu keluarga.
“Kalau makan-makan mah bisa, kalau buat lain-lain enggak bisa. Beli sayuran enggak bisa. Paling mie, telur,” tutur dia.
Tugas-tugas yang diberikan sekolah biasanya dikirim lewat aplikasi chat/whatsapp. Hal ini jelas tak mudah bagi Mama Mahesa, sebab ia buta aksara. Dia pun kerap meminta bantuan tetangga untuk menyelesaikan tugas anaknya.
“Saya lulusan SD saya mah. Kan waktu itu mama saya enggak kuat biayainnya,” kata Mama Mahesa dengan logat Indramayu.
Terkendala Jaringan Internet
Ditemui di lokasi yang sama, Resa Boenard, pendiri komunitas Kingdom of BGBJ, mengatakan salah satu kendala anak-anak pemulung dalam bersekolah jarak jauh adalah sarana dan prasarana.
Resa yang mengaku besar di TPA Sumur Batu ini, menyebut, anak-anak saat ini memang bisa menggunakan ponsel pintar milik orang tua mereka buat belajar. Masalah yang kemudian muncul adalah ada orang tua yang tidak mampu membeli kuota internet.
“Cukup sulit ya. Karena paket data juga mahal, harga barang sampah juga murah. Belum lagi ada juga ortu yang buta huruf, jadi anaknya ga ada yang bantu belajar,” jelas dia.
Sebagai pendiri komunitas, tentu Resa sudah akrab dengan kegiatan volunteer maupun donasi. Menurutnya, yang dibutuhkan dari sisi pendidikan saat pandemi seperti ini, bukan hanya bantuan sembako saja tetapi sarana internet yang memadai.
“Saya sempat mau pasang (wifi) di area ini (Pangkalan 5, TPA Sumur Batu) Februari kemarin. Tapi kata petugas providernya jaringannya gak bisa. Sekalinya bisa itu yang satelit dan biaya bulanannya mahal Rp 12,5 juta,” ujar dia.
Dihubungi terpisah, Kepala Bidang Teknik Informatika Komputer (TIK) Diskominfo Kota Bekasi, Erwin menuturkan, untuk di TPA Bantargebang memang belum ada wifi. Ia mengaku akan melakukan survei ke lapangan apabila sudah ada jaringan yang terpasang di sana.
Namun, kata Erwin, kalau pun bisa dipasang secara gratis hal itu baru dapat terealisasi tahun depan. “Karena untuk tahun ini (pemasangan internet gratis) sudah sesuai kuota,” kata Erwin.
Erwin menyebut, sejatinya pemasangan internet di area TPA Bantargebang tidaklah sulit. Terpenting, jaringan fiber optiknya sudah masuk dan cakupan listriknya memadai.