REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Saan Mustopa mengatakan, pihaknya berencana membahas pembentukan peradilan khusus pemilihan umum (pemilu) dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang sedang dibahas. Menurut dia, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memiliki kewenangan yang berlebihan mulai dari menerima laporan dugaan pelanggaran pemilihan, penindakan, hingga ajudikasi
"Kewenangan Bawaslu hari ini dianalogikan dia polisi, jaksa, dan hakim. Kewenangan menumpuk di satu lembaga," ujar Saan dalam diskusi virtual, Ahad (2/8).
Ia menyebutkan, pada 2014 lalu, saat menjadi salah satu anggota panitia khusus RUU Pemilu waktu itu, peradilan khusus pemilu sempat dibahas. Bahkan, kata dia, hampir seluruh fraksi sepakat pembentukan peradilan khusus pemilu.
Namun, Mahkamah Agung (MA) tidak menyetujui peradilan khusus pemilu berada di bawahnya. Menurut Saan, kemungkinan beban kerja MA terlalu banyak jika harus mengurusi persoalan pelanggaran pemilu.
Saan mengatakan, dampak dari satu lembaga penyelenggara pemilu yang memiliki kewenangan lebih besar itu akan berdampak negatif. Dampak negatif mungkin jauh lebih besar dalam konteks pemilu di masa mendatang yang ingin mengedepankan keadilan.
Selain itu, peradilan khusus pemilu finilai penting ketika melihat pengajuan gugatan perselihan hasil pemilihan mulai dari tingkat kabupaten/kota hingga pusat di Mahkamah Konstitusi (MK). Saan menyebutkan, beban kerja MK berat yang harus menangani hasil sengketa pemilu mulai pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, DPR RI, DPD RI, sampai ke pemilihan presiden (pilpres).
"Banyaknya kasus yang masuk, beban MK menjadi lebih berat lagi dengan sembilan hakim yang ada," kata Saan.
Berikutnya, hal yang menjadi penting untuk wacana pembentukan peradilan khusus pemilu terkait adanya tumpang tindih keputusan. Banyaknya permohonan uji materi di MA berkaitan dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) dan permohonan fatwa MA dari partai politik yang ingin mengganti calon legislatif terpilih dengan caleg pilihan partai.
Saan menambahkan, sejak 2009 lalu, gagasan peradilan khusus pemilu diwacanakan berada di bawah MA, bersama dengan peradilan tindak pidana korupsi (tipikor), peradilan niaga, dan sebagainya. Ia berharap, peradilan khusus pemilu tersebar di seluruh tingkatan dan tidak hanya berpusat di Jakarta.
"Jadi itu bisa sifatnya ad hoc, bisa dari karirnya yang ada di MA, bisa dari akademisi, praktisi, atau pegiat pemilu. Bisa tersebar, misalnya untuk menangani sengketa di kabupaten/kota, provinsi, itu bisa diselesaikan di pengadilan tinggi," jelas Saan.