REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mabruroh, Rr Laeny Sulistyawati
Pemikiran terkait pembukaan kembali sekolah sedang bergelora di benak Satgas Covid-19. Setidaknya sekolah di zona kuning dipertimbangkan untuk bisa dibuka kembali.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyoroti rencana pemerintah yang akan membuka sekolah di zona kuning Covid-19. IDAI menilai rencana tersebut harus ditinjau ulang.
"Mengurangi paparan ya dengan tetap di rumah. Jadi saran saya pemerintah harus berpikir ulang, jangan gegabah," ujar Ketua Satgas Covid-19 IDAI, Yogi Prawira dalam sambungan telepon pada Selasa (28/7) malam.
Yogi menuturkan, untuk daerah yang dianggap sudah mampu untuk melakukan pembelajaran secara offline, artinya syarat epidemiologis betul-betul sudah terpenuhi. Jika demikian sambungnya, maka harus dipersiapkan emergency break.
"Istilahnya rem darurat, misalnya dibuka sekolah, begitu ada kasus maka apa nih yang mesti dikerjakan. Apakah lockdown, contact tracing, jadi jangan berpikir dibuka saja, karena begitu dibuka kasus akan meningkat," ucapnya.
Hal ini ujar Yogi, terjadi pada negara-negara lain yang telah membuka kembali sekolah-sekolah di masa pandemi seperti Finlandia, Prancis, dan Korea Selatan. Penambahan kasus Covid-19 sebelumnya telah dinyatakan nol atau tidak ada penambahan kasus, tapi saat sekolah dibuka langsung terjadi lonjakan kasus.
"Jadi kita sudah memperkirakan, begitu sekolah dibuka akan ada penambahan kasus dan itu sudah terjadi kan. Di sekolah di beberapa pesantren atau asrama atau bahkan ada sekolah calon perwira di Jabar itu jadi klaster baru. Padahal orang dewasa dengan protokol kesehatan yang harusnya disiplin, nah bagaimana dengan anak-anak," tanya Yogi.
Karena itu lanjutnya, jika memang harus dibuka kembali pembelajaran tatap muka, ia menekankan harus dibarengi dengan ketersediaan fasilitas rawat isolasi dan ruang rawat intensif di rumah sakit. Jangan sampai begitu kasus melonjak tapi rumah sakit sudah tidak bisa menangani lagi.
"Jadi dari awal sudah harus didata kemampuan kapasitas rawat inap rumah sakit di daerah tersebut, ruang isolasi anak, ruang ICU bertekanan negatif dan sebagainya. Semuanya betul-betul diperhitungkan, mengecek fasilitas kesehatan itu untuk mengantisipasi peningkatan jumlah kasus," terangnya.
Selain itu, tambah Yogi, adalah pada saat anak terinfeksi Covid-19, hal yang dikhawatirkan anak juga bisa menularkan kepada keluarganya. Karena saat ini sudah ada bukti yang menunjukkan bahwa anak-anak juga dapat menularkan.
"Karena sebagian besar anak itu tanpa gejala. Jadi mereka bisa terinfeksi namun tanpa gejala. Mereka tetap berisiko menularkan pada orang lain. Jadi bayangkan kalau di keluarga, anak terinfeksi di sekolah, saat dia pulang ke rumah ada kakek neneknya jadi dia bisa menginfeksi kakek neneknya, yang merupakan populasi rentan. Hal seperti itu juga harus dipikirkan," papar Yogi.
IDAI tetap meminta agar kegiatan belajar mengajar dilakukan secara online. Sejak awal munculnya Covid-19 di Indonesia, Yogi mengaku IDAI sangat mengapresiasi langkah pemerintah yang menerapkan pembelajaran dari rumah. Menurutnya, hal ini harus terus berlanjut minimal hingga akhir tahun 2020 untuk melindungi anak-anak dari paparan infeksi virus corona.
"Kami menyarankan evaluasi bulan Desember jadi paling cepat bulan Desember (sekolah dibuka) untuk tatap muka, itupun dengan syarat-syarat dan ketentuan yang berlaku," ujar Yogi.
Ditambah lagi kata Yogi, kasus Covid-19 di Indonesia telah melampaui China dan dalam catatan WHO, angka kematian anak akibat Covid-19 di Indonesia adalah yang tertinggi di Asia Pasifik. "Jadi ada masalah di sini," ungkapnya.
Kemudian mengenai zonasi penyebaran Covid-19, dalam sudut pandangnya sistem zonasi hijau, kuning, dan merah di Indonesia cenderung menyesatkan. Alasannya, karena untuk menyatakan suatu daerah masuk kategori zona hijau hanya perlu untuk tidak melakukan tes sehingga tidak ada catatan penambahan kasus.
"Yang paling gampang tidak perlu diperiksa, tidak ada pemeriksaan (artinya) tidak ada hasil positif, tidak ada pertambahan kasus. Tapi kan bukan seperti itu yang diminta, jadi harusnya ada semacam kewajiban dari pemerintah pusat untuk masing-masing daerah berusaha memenuhi persyaratan yang diminta oleh WHO, karena di Indonesia ini kan kapasitas tes sangat tidak merata," jelasnya.
Kemudian bila berdasarkan positivity rate, sebagai salah satu syarat bisa dikatakan transmisi untuk Covid-19 sudah terkendali, positivity rate harus kurang dari lima persen selama dua sampai tiga minggu berturut-turut. Sehingga jika itu belum terpenuhi, artinya resiko untuk transmisi lokal masih besar.
"Dan perlu diingat terapi untuk penyakit ini belum ada, jadi semuanya sifatnya masih trial. Ada yang bagus, ada juga yang tidak (menunjukkan) perbaikan. Jadi untuk populasi yang rentan seperti anak-anak maka yang terbaik adalah pencegahan," tegasnya.
Caranya tambah Yogi, adalah mengurangi paparan dengan tetap di rumah. Sehingga ia kembali menegaskan supaya pemerintah tidak gegabah dalam mengeluarkan suatu keputusan. "Jadi saran kami pemerintah harus berpikir ulang, jangan gegabah," katanya lagi.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menegaskan pandemi Covid-19 belum selesai di Indonesia. "Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dilonggarkan tetapi kejadian Covid-19 di Indonesia justru meningkat. Artinya masalah belum selesai, (kasusnya) masih terus naik," ujar Ketua Satgas Covid-19 IDI Zubairi Djoerban saat dihubungi Republika, Rabu (29/7).
Ia menambahkan, tanda ini bisa dilihat jumlah pasien di rumah sakit yang semakin banyak. Karena itu, ia meminta semua pihak harus lebih disiplin, baik pihak masyarakat maupun pemerintah. Ia menegaskan, banyak hal yang harus dikerjakan.
Pertama, dia melanjutkan, yaitu mengenai protokol kesehatan yang diterapkan masyarakat dan ini terkait dengan perubahan perilaku. Ia menyebutkan jika semula masyarakat tidak terbiasa menerapkan protokol kesehatan maka dibutuhkan perubahan perilaku dan kemudian melakukannya.
"Memang ini tidak mudah karena harus ada perubahan perilaku manusia yang awalnya harus tahu dulu, kemudian paham, setelah itu baru mengerjakan," katanya.
Selain itu, ia menganalisis sebagian masyarakat tidak menerima informasi ini karena gaya bahasa maupun pendidikan masyarakat dari segmen yang berbeda. Ia mengakui ada kalangan masyarakat yang bisa tahu hanya ketika cukup membaca atau melihat pemberitaan media, ada juga yang paham setelah mendengar penjelasan dokter, tetapi ada juga kelompok yang percaya dan mudah diajak bicara setelah tokoh masyarakat atau tokoh agama panutannya mengatakannya.
"Saya kira kadang-kadang tokoh masyarakat, tokoh agama di beberapa tempat lebih didengar. Jadi, pelatihan tokoh masyarakat dan tokoh agama menjadi penting agar setelah itu bisa memberikan informasi dengan baik dan benar," katanya.
Di satu sisi, ia meminta pemerintah benar-benar menerapkan tindakan disiplin pada warganya. Bentuk pendisiplinannya bisa bermacam-macam, misalnya Australia yang menerapkan hukuman denda.
Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Doni Monardo menjelaskan, pemerintah saat ini mengkaji pelonggaran PJJ. Kegiatan belajar tatap muka secara terbatas direncanakan juga akan diterapkan di sekolah di luar zona hijau.
Doni sebelumnya juga menjelaskan, jika kegiatan belajar mengajar dibuka untuk zona kuning, harus ada persyaratan yang harus dipenuhi. Beberapa syarat yang harus dipenuhi antara lain pembatasan frekuensi kegiatan siswa dan pembatasan jumlah murid di dalam kelas.