REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menilai, kandidat calon kepala daerah maupun para pendukungnya dari kalangan aparatur sipil negara (ASN) tak jera dan terus melanggar netralitas. Bahkan, menurut dia, kejadian ketidaknetralan ASN cenderung dilakukan secara vulgar.
"Kandidat maupun pendukung itu tidak pernah jera," ujar Adi dalam diskusi virtual, Kamis (23/7).
Ia mencontohkan, pelanggaran netralitas ASN telah terjadi di Tangerang Selatan sejak lima bulan sebelum pemungutan suara. Ia meragukan regulasi terkait pemilihan yang berlaku selama ini sudah mengatur secara komprehensif dan menimbulkan efek jera atau tidak, karena pelanggaran netralitas ASN masih terus terjadi.
Penindakan pelanggaran netralitas ASN pun tidak sampai di wilayah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), melainkan ditindaklanjuti oleh Komisi ASN (KASN). Menurut Adi, hal itu menjadi masalah karena dalam proses pemilihan. Sebab, Bawaslu yang bertanggung jawab mengawasi ASN agar tidak melakukan politik praktis.
"Pelanggaran-pelanggaran sudah mulai didata, tapi kalau misalnya Bawaslu tidak diberikan alat untuk menggergaji mereka itu agak bohong jadinya," kata Adi.
Ia mendorong ada regulasi kuat yang mengintegrasikan antarinstitusi seperti Bawaslu, KASN, dan Kementerian Dalam Negeri dalam penindakan pelanggaran netralitas ASN. Sehingga, bagi mereka yang melanggar ketentuan netralitas ASN dapat diberikan sanksi pemberhentian sekaligus yang memberikan efek jera.
Sebelumnya, Anggota Bawaslu RI, Ratna Dewi Pettalolo menyebutkan, Bawaslu telah menindaklanjuti 415 kasus dugaan pelanggaran netralitas ASN. Terdapat 46 kasus dihentikan, tiga kasus masih dalam proses, dan 366 direkomendasikan kepada KASN untuk ditindaklanjuti.
"Ini menunjukkan bahwa pada tahapan ini angka pelanggaran ini sudah cukup tinggi. Kita belum memasuki tahapan-tahapan lain yang seringkali angka pelanggarannya itu meningkat misalnya tahapan kampanye," kata Ratna, Ahad (12/7) lalu.