REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sikap Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah serta Lembaga Pendidikan Maarif Nahdatul Ulama (NU) memutuskan keluar dari Program Organisasi Penggerak (POP) Kementrian Pendidikan mendapat dukungan dari berbagai pihak. Apalagi, kedua lembaga pendidikan ormas Islam terbesar di Indonesia telah sama-sama mengungkapkan bahwa ada kejanggalan dalam proses seleksi.
Pengamat Sosial Keagamaan, Fachry Ali, pun bersikap senada. Ia malah mengkaitkan soal ini dengan sikap dan stetmen pernyataan Nadiem Makarim saat keluar dari Istana Negara setelah dinyatakan oleh Presiden Jokowi sebagai menteri pendidikan pada tahun silam.
“Ketika keluar dari istana, sehabis dipanggil presiden terpilih, akhir 2019, calon menteri pendidikan yang masih muda belia itu berkata kepada wartawan: Saya tidak tahu masa lalu. Tapi saya tahu masa depan.’ Lalu kala itu ia pulang naik ojek,’’ kata Fachry Ali, di Jakarta, Kamis (23/7).
Maka, lanjut Fachry, menadi sangat dimengerti ketika kini Muhammadiyah dan NU keluar dari program ‘Pendidikan Merdeka’. Ini karena Menteri Pendidikan memberikan dana hibah Rp 20 milyar kepada masing-masing Sampurna Foundation dan Tanoto Foundation pertahun.
“Pada kasus ini menteri pendidikan benar-benar membuktikan bila dia tidak tahu masa lalu. Bahwa Muhammadiyah dan NU telah melakukan pendidikan rakyat jelata jauh sebelum Indonesia ada. Sementara Sampurna Foundation dan Tanoto Foundation baru lahir beberapa ‘menit’ lalu —untuk ukuran masa panjang pengabdian Muhammadiyah dan NU mencerdaskan anak-anak bangsa. ini ironi orang tak mengerti masa lalu. Saya perintahkan Menteri Pendidikan belajar sejarah!!!!,’’ tegas Fachry.
Sama halnya dengan Fachry, Ketua Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KB PII), Nasrullah Larada, mengatakan memang program POP kemendikbud pada dasarnya baik. Hanya proses seleksi dan mekansime SOP yang tidak semestinya. Ada kritik bahwa ada organisasi yang seharusnya lolos ternyata diloloskan.
“KB PII melihat, dalam kenyataannya proses seleksinya tidak profesional dan tidak adil. Maka kami akan meminta Komisi Informasi Publik (KIP) untuk membuka manajemen dan proses seleksi dan KPK harus menyeldidikinya. Ada indikasi permainan buruk orang tertentu, Jadi sangat kita apresisai atas mundurnya muhammadiyah dan NU dari POP Kemendikbud,'' ujar Nasrullah.
Memang, lanjut Nasrullah, Menteri Nadiem harus tahu masa lalu ketika menjadi pejabat negara. Apa siapa yang berperan di masa lalu dalam pendidikan harus dipahami. Ingat Muhammdiyah dan NU berperan dalam dunia pendidikan sebelum Indonesia ada. Makanya jangan gegabah disamakan dengan organisasi pendidikan yang baru lahir dan bahkan terindikasi sebagai program CSR sebuah perusahaan.
‘’Kami merasa memang ada kesan seolah Menteri Nadiem ingin menghadirkan wajah baru dan dinovasi baru di dunia pendidikan. Tapi ini malah mencabut akar pendiikan itu sendri,’’ katanya.
Sementara pengamat politik dan dosen Pascar Sarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta, DR Ma'mun Murod, mengatakan dalam POP Kemendikbud memang tidak menerapkan azas proporsionlitas yang tepat. Ada lembaga yang mengelola satu lembaga pendidikan tapi mendapat proyek gajah, tapi lembaga lembaga pendidikan NU dan Muhammadiyah malah diabaikan dan disamakan dengannya.
"Padahal dua ormas itu mengelola ratusan ribu lembaga pendidikan sejak lebih dari seabad silam. Apalagi selama ini pendidikan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama terbukti tidak profit oriented. Bagi Muhammadiyah misalnya, memberikan pendidikan kepada rakyat tanpa terkecuali adalah merupakan kewajiban dan tujuan ormas ini didirikan. Jadi Kebijakan adanya POP membuat kader NU, Muhammadiyah, serta ormas Islam lainnya tersinggung. Menteri Nadiem harus tahu ini dan biar dia memahami bahwa sejarah itu penting,'' tegasnya.