Rabu 22 Jul 2020 10:53 WIB

Fitnah Islam dalam Sepotong Klepon

Klepon sepertinya sengaja dimunculkan untuk mendiskreditkan Islam.

Klepon
Foto:

Dalam ilmu Jurnalistik juga dikenal analisis Semiotika. Analisis simbol ini terbagi menjadi tiga: Semantik, Sintaksis, dan Pragmatik. Kita bisa membongkar postingan Klepon tak Islami tersebut menggunakan "pisau bedah" Semantik di mana setidaknya saya menemukan tanda penting yang memiliki makna tertentu sehingga memancing keingintahuan pembacanya: bahasa, kode, dan simbol.

Bahasa dalam postingan tersebut menggunakan diksi yang mudah dicerna: "tak islami", "kurma", dan "toko syariah". Tiga diksi tersebut sudah tentu mengarah kepada Islam. Sasaran utamanya tentu saja untuk menyudutkan dan menfitnah seolah-olah umat Islam yang membuat postingan tersebut.

Kode yang digunakan adalah disematkannya nama Abu Ikhwan Aziz (akunnya bahkan baru dibuat satu hari saat memposting foto klepon), sebagai "Orang Arab" penjual kurma. Nama itu tentu dicantumkan untuk menggiring para pembacanya: pembuat postingan itu adalah orang Islam.

Sementara simbol yang digunakan dalam postingan tersebut adalah kue klepon. Jajanan pasar yang dikenal rakyat Indonesia ini disebut sebagai produk budaya Indonesia. Tak hanya orang Jawa saja, kue klepon juga dikenal di masyarakat Betawi dan Sunda. Penggunaan kue klepon sebagai simbol "budaya" disandingkan dengan bahasa kurma, syariah, dan kode abu-abuan. Tujuannya: ah tanpa saya beritahu pun Anda sudah pasti mengerti jika postingan ini untuk membenturkan budaya Indonesia dengan agama Islam.

Coba seruput kopi pagi Anda dulu dan tarik nafas sebentar sebelum berkomentar di media sosial. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan jajanan tradisional klepon adalah makanan halal. Tim sosmed Republika menelusuri, ada kejanggalan postingan tersebut. Satu di antaranya adalah saat beberapa jejak postingan sengaja dihapus oleh beberapa akun yang memposting meme tersebut.

Seperti temuan dari Komunitas Anti Hoax, Indonesian Hoaxes yang melakukan riset mendalam atas postingan yang viral tersebut. Adisyafitrah Ketua Komunitas Indonesian Hoxaes, menyebut postingan tersebut hanya klaim sepihak atas isu klepon yang sengaja dibuat dengan tujuan memancing keributan di media sosial.

“Ini bukan didasari dari sentimen politik, atau apa pun, namun hanya keisengan yang disalahgunakan untuk memancing keributan,” ujar Adisyafitrah pada Republika.co.id di Jakarta, Selasa (21/7).

Baca Juga: Pola Akun Penyebar Klepon tak Islami: Posting, Viral, Hapus

Postingan berbau sentimen agama, ras, dan suku di media sosial memang mudah sekali menjadi trending topic sebagai lanjutan dari pertarungan Pilpres 2014. Dua kubu yang mendapatkan suara yang tak terpaut jauh membuat keterbelahan bangsa ini semakin melebar.

Padahal, jika kita telaah masih ada banyak isu yang bisa menjadi bahan diskusi menarik warganet. Seperti makin abainya masyarakat terhadap keberadaan covid-19, kasus Djoko Tjandra yang berkali-kali ngadalin aparat, atau terpilihnya Gibran Rakabuming sebagai bakal calon wali kota Solo dari PDIP.

Coba kita telusuri akun-akun yang berisik ketika musisi Anji mempertanyakan foto jenazah Covid-19 yang dipotret fotografer National Geographic, Joshua Irwandi. Tak sedikit warganet yang setuju dengan postingan Anji yang (salah satunya) mempertanyakan mengapa sang fotografer bisa mendapatkan akses untuk memfoto jenazah. Sumpah serapah pun tak terhitung lagi. Meski akhirnya Anji menghapus foto tersebut dan meminta maaf.

Atau ke mana perginya akun-akun yang saat ini memposting soal Klepon tak Islami ketika Djoko Tjandra membuat harga diri penegak hukum Indonesia diinjak-injak, lantaran ia bisa dengan mudah mendapatkan kartu identitas: KTP, paspor, hingga surat jalan dari Polri. Kok senyap? Kok gak gaduh? Kok.. Kok..

Di bidang politik, terpilihnya Gibran menjadi wakil dari PDIP juga menurut saya sangat menarik dikaji. Ada aroma oligarki di isu ini.

Saya jadi teringat sebuah pernyataan dari Deny Siregar tentang "piring emas". Ia mengaku khawatir iklim politik pada 2024 akan diisi para penerus-penerus keluarga (politikus) yang baru. Nama-nama seperti Puan Maharani dari PDIP dan Agus Harimurti Yudhoyono dari Demokrat disindir Denny. Namun ketika Gibran masuk ke dunia politik, timeline mendadak senyap. Sepertinya kue klepon bagi mereka lebih legit dibicarakan.

"Pasti ada hubungannya kedekatan dengan partai bukan dari sisi profesionalisme, bukan dari sisi bagaimana bekerja. Mereka hanya tumbuh dari fasilitas, mereka orang-orang yang tumbuh dari piring emas. Bagaimana kita bisa berharap terbangun dengan bagus dari orang-orang yang tidak pernah susah dalam hidupnya," kata Denny Siregar.

Ah dari tadi ngomongin kue klepon jadi lapar. Pagi-pagi seperti ini memang enaknya minum kopi ditemani kudapan klepon daripada martabak, sembari menunggu dibentuknya Partai Klepon Indonesia. Tabik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement