REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pakar Indonesia Maju Institute, Lukman Edy menilai, langkah Presiden Joko Widodo membuat tim pemulihan ekonomi nasional dan penanganan Covid-19, adalah langkah yang tepat. Juga menunjukkan sense of crisis menghadapi ketidakpastian keadaan di bulan-bulan mendatang. Sebab, setidaknya ada dua persoalan besar yang dihadapi bangsa ini.
"Pertama, pandemi Covid-19 yang belum tentu kapan akan berakhir. Seluruh negara meningkatkan kewaspadaannya terhadap kemungkinan munculnya pandemi jilid II yang lebih parah," ujar politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut, dalam keterangan yang diterima Republika.co.id, Selasa (21/7).
Kedua, lanjut Lukman, situasi ekonomi dunia yang tidak menentu. Hampir semua negara mengalami negatif growth, bahkan banyak yang negatif growthnya dua digit. Menurutnya, terhadap dua persoalan besar tersebut, maka yang akan dihadapi adalah kenyataan Indonesia menghadapi ancaman dua krisis sekaligus, yaitu krisis kesehatan dan krisis ekonomi.
Lukman juga menyinggung soal statemen Presiden Jokowi dalam minggu-minggu terakhir ini, yang memperlihatkan kerisauan dan sensitifitasnya terhadap keadaan. Pertama, kemarahan beliau di sidang Kabinet karena melihat para pembantunya yang belum sejiwa dengannya dalam menghadapi krisis. Ada yang serius, tapi banyak yang santai saja.
"Presiden Jokowi ingin frekuensi sensitifitas para pembantunya sama dengannya ketika menghadapi krisis sekarang ini," tutur Lukman.
Kemudian, ketika Presiden Jokowi pidato di depan para gubernur, beliau tidak ketinggalan pula mengingatkan keseriusan kepala daerah dalam menangani pandemi corono di daerah masing masing berdasarkan indikator masih lambannya eksekusi APBD sehingga menjadi penyebab tidak terangkatnya pertumbuhan. Untuk itu, menurut Lukman, Presiden Jokowi melakukan langkah yang lebih kongkrit, yaitu membentuk tim Pemulihan Ekonomi Nasional dan Penanganan Covid-19.
Intinya, sambung Lukman, Jokowi ingin, apa yang beliau ucapkan minggu-minggu terakhir ini, juga di eksekusi. Beliau tidak ingin hanya didengar tapi tidak dilaksanakan. Lukman melihat, bukan saja karena Menteri BUMN ini punya fungsi dan kewenangan yang cukup untuk mengemban amanah berat ini.
Tetapi, kata Lukman, Jokowi juga melihat, di antara pembantunya, Erick Tohir-lah yang paling cepat, kreatif, dan tidak bertele-tele dalam menghadapi krisis sekarang ini.
"Jokowi merasakan ada frekuensi yang sama dengan beliau soal sensitifitas Erick Tohir dalam menghadapi krisis kesehatan dan sekaligus krisis ekonomi sekarang ini. Erick Tohir punya sense of crisis yang sama dengan Presiden Jokowi" simpulnya lagi
Tentang bagaimana menghadapi Pandemi Covid-19, Lukman berpandangan, bahwa ET dipandang juga telah bergerak cepat membantu menyiapkan Rumah Sakit Khusus Covid-19, termasuk pengadaan APD-APD. Begitu juga dalam menghadapi ancaman krisis ekonomi, ET juga bergerak cepat membantu Presiden menggerakan semua potensi ekonomi untuk mengerem penurunan pertumbuhan. "Meski banyak yang ET tabrak, tapi sepertinya Presiden suka" kata Lukman lagi.
Lukman menyarankan, ET harus menginventarisasi permasalahan sebagai breakdown dari dua masalah besar yaitu ancaman pandemi Covid-19 jilid dua, dan ancaman krisis ekonomi akibat terjun bebasnya pertumbuhan ekonomi, secara cepat dan lugas serta tidak bertele-tele ala birokrasi. Kemudian ET harus menyiapkan payung-payung hukum yang menghambat kerja penanganan ekonomi nasional dan penanganan pandemi Covid-19.
"Banyak mekanisme pembuatan payung hukum yang bisa ditempuh ET. Mulai dari Permen, Perpres, atau Peraturan Pemerintah bahkan Perpu sekalipun bisa ditempuh. Sebagai Presiden, Jokowi bahkan menyiapkan terlebih dulu payung hukumnya, yaitu dengan diterbitkannya Perpu No 1/2020" ujarnya.
Untuk, menurut Lukman, melengkapi bahwa agenda-agenda yang akan dihadapi ET secara garis besar paling tidak menyiapkan SOP baru disemua sektor menghadapi New Normal. Kemudian penegakkan hukum dalam penerapan pembatasan di era New Normal, membangkitkan kembali semangat Satgas Covid-19 yang sekarang menurun.
Juga menggerakkan konsumsi APBN dan APBD yang progresnya lambat sekali, menggerakkan indikator pertumbuhan lainnya seperti investasi baik asing maupun dalam negeri, menggerakan dunia usaha, serta menggerakkan semua potensi.
"ET harus dapat memastikan kelembagaan pemerintah agar semua mempunyai frekuensi sense of crisis yang sama dengan Presiden Jokowi" ujarnya.