Kamis 16 Jul 2020 09:37 WIB

Catatan Kritis PP Muhammadiyah terkait RUU Ciptaker

PP Muhammadiyah menyayangkan proses pembahasan RUU Cipta Kerja.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Ratna Puspita
Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas menyerahkan kajian akademik terkait RUU Omnibus Law Cipta Kerja kepada Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/7).
Foto: Republika/ Febrianto Adi Saputro
Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas menyerahkan kajian akademik terkait RUU Omnibus Law Cipta Kerja kepada Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah bidang hukum Busyro Muqoddas menyerahkan kajian akademis terkait Rancangan Undang-undang Omnibus Cipta Kerja (Ciptaker) kepada Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Rabu (15/7). Kajian itu berisi catatan kritis dari hasil diskusi yang dilakukan oleh Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah bersama dengan Forum Dekan Fakultas Hukum dan Ketua Sekolah Tinggi Hukum Muhammadiyah seluruh Indonesia. 

Sejumlah catatan kritis PP Muhammadiyah terhadap RUU Omnibus Law Ciptaker, yakni menyayangkan proses pembahasan RUU Cipta Kerja yang cenderung tertutup dan tidak transparan. Hal tersebut diperparah dengan sikap DPR yang tetap membahas RUU tersebut di tengah pandemi.

Baca Juga

"Tindakan DPR dan pemerintah yang terus melakukan pembahasan RUU Cipta Kerja ini merupakan pelanggaran constitusional ethics yang serius," bunyi kajian akademis yang disusun oleh sejumlah akademisi tersebut.

Catatan kritis kedua, PP Muhammadiyah bersama akademisi melihat, seharusnya dalam menyusun RUU Cipta Kerja, yang harus diperhatikan adalah kepentingan bangsa dan negara secara menyeluruh. Tidak sekadar kepentingan ekonomi kelompok tertentu  apalagi kepentingan asing. 

"RUU ini juga tidak memperhatikan aspek nilai etis lingkungan (environmental ethics) dan tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat secara lebih luas," bunyi catatan kedua.

Ketiga, PP Muhammadiyah dan Forum Dekan Fakultas Hukum dan Ketua Sekolah Tinggi Hukum Muhammadiyah se-Indonesia menemukan berbagai titik lemah dalam RUU Cipta Kerja. Antara lain berkaitan dengan masalah lingkungan hidup, penataan ruang dan keanekaragaman hayati, perizinan berbasis risiko, pelaksanaan administrasi pemerintahan dan pengenaan sanksi, pertambangan mineral, batu bara, dan ketenagalistrikan, dan persoalan investasi, ketenagakerjaan, dan UMKM. 

Keempat, metode omnibus dalam RUU Cipta Kerja dinilai dapat menyesatkan. Hal itu lantaran tidak semua yang diatur benda fisik seperti mengintegrasikan gedung-gedung dan ruang-ruang di dalam suatu kompleks bangunan.

"Melainkan berhadapan dengan perbedaan sifat jasad/renik/gen/virus, spesies, lanskap, kondisi sosial dan kebudayaan yang secara bersamaan menjadi tempat berbagai sektor bekerja," isi poin catatan keempat. 

Kelima, RUU Ciptaker meniadi momok menakutkan bagi para buruh. Sebab masuknya investasi besar-besaran yang seharusnya disambut gembira justru dianggap terlalu berpihak kepada pelaku bisnis. Keenam, mereka menyayangkan sikap DPR yang tetap membawa RUU Cipta Kerja pada pembahasan lebih lanjut di badan legislasi (baleg). DPR dianggap tidak memiliki sense of crisis terhadap dampak Covid-19.

"Seharusnya DPR bisa menentukan skala prioritas agenda kerja dalam kondisi darurat saat ini untuk menunda pembahasan segala RUU termasuk RUU Cipta Kerja dan lebih fokus mengawal dan mengawasi kebijakan serta kinerja pemerintah dalam menanggulangi wabah virus Covid-19 agar bisa segera diatasi dan diakhiri bencana kesehatan, ekonomim dan sosial ini," isi catatan kritis tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement