REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Restorasi Gambut (BRG) muncul sebagai salah satu dari 18 lembaga yang akan dibubarkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal ini dikonfirmasi oleh Kepala Staf Presiden Moeldoko, Selasa (15/7).
Menurutnya, beberapa tugas BRG memang beririsan dengan sejumlah instansi lain, termasuk Badan Nasional Penanganan Bencana (BNPB) dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan, Kementerian Pertanian terkait optimalisasi lahan gambut, dan restorasi gambutnya sendiri oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kepala BRG Nazir Foead pun ikut bersuara mengenai hal ini. Pada prinsipnya, ujar Nazir, BRG patuh terhadap apapun keputusan Presiden Jokowi terkait kelanjutan nasib badan yang usianya baru empat tahun ini. Apalagi, ujarnya, masa kerja BRG memang berakhir pada Desember 2020.
Kendati begitu, Nazir tetap ingin agar BRG bisa merampungkan seluruh sisa pekerjaan yang diamanatkan oleh Presiden Jokowi saat pembentukan badan ini pada 2016 lalu. Ia mengungkapkan, BRG masih punya utang untuk menyelesaikan proses restorasi terhadap 15 persen luasan lahan dari total target restorasi untuk lahan nonkonsesi.
"Yang jelas kami ingin menuntaskan pekerjaan yang masih tersisa. Kan sudah dianggarkan, dan Pemda sudah mulai bekerja bersama kita untuk selesaikan sisa dari 2 juta hektare itu atau 900 ribu hektare yang nonkonsesi," ujar Nazir, Selasa (15/7).
Untuk saat ini, Nazir melanjutkan, pihaknya memberi ruang bagi Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) untuk melakukan evaluasi terhadap badan yang dipimpinanya. Kementerian PANRB memang mendapat tugas dari presiden untuk melihat lagi tugas dan fungsi dari 18 lembaga yang akan dirampingkan.
"Ya kita tunggu saja nanti itu. Kan memang masa kerja BRG berakhir di Desember 2020 dan kita sedang selesaikan sisa target kerja kita untuk restorasi, 2 juta lahan sesuai perintah presiden di awal 2016 lalu," katanya.
BRG sebenarnya dibentuk sendiri oleh Presiden Jokowi pada 2016 lalu. Pada awal pembentukannya, BRG mendapat tugas untuk menyelesaikan restorasi terhadap 2 juta hektare lahan gambut. Dari 2 juta hektare lahan gambut itu, 1,1 juta hektare adalah lahan di bawah izin perusahaan dan sisanya, 900 ribu hektare adalah lahan nonkonsesi.
"Kalau yang lahan nonkonsesi sudah 85-86 persen kita lakukan kegiatan restorasi walau restorasinya nggak bisa selesai dalam setahun," jelas Nazir.
Proses restorasi lahan gambut memang tak singkat. Nazir menjelaskan, butuh kebijakan yang berkelanjutan antara pemerintah melalui KLHK, Kementerian PUPR, dan pemerintah daerah serta masyarakat agar restorasi bisa berjalan baik. Bahkan dalam eksosistem gambur tertentu, Nazir menjelaskan, proses restorasi bisa memakan waktu hingga 10 tahun.
Nazir menyebut pihaknya sudah berupaya maksimal dengan menggandeng perusahaan pemegang konsesi lahan. Dari sekitar 1 juta lahan konsesi, BRG memang hanya fokus pada area perkebunan sawit saja.
"Kita ada MoU dengan pertanian dan LHK berikan bimbingan kepada perusahaan sawit untuk restorasi gambutnya. Dan itu sudah tercapai 450.000 hektare," katanya.
Bila ditotal, termasuk dengan lahan gambut yang ditangani Kementerian LHK, maka sudah ada 3,4 juta hektare lahan konsesi yang sudah direstorasi. Sementara lahan nonkonsesi yang sudah dilakukan restorasi mencapai 800 ribu. Sehingga totalnya, ada lebih dari 4 juta hektare lahan gambut yang sudah dilakukan restorasi.
"Tapi ini prosesnya nggak selesai 1-2 tahun, harus diselesaikan pemda, masyarakat, dan perusahaan," katanya.