REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI telah memproses 752 kasus dugaan pelanggaran Pilkada per 3 Juli 2020, terdiri dari 630 temuan dan 122 laporan. Dari jumlah dugaan pelanggaran tersebut, 153 di antaranya terbukti bukan pelanggaran.
"Kami ingin sampaikan bahwa sampai tanggall 3 Juli 2020 kami sudah memproses 630 temuan dan 122 laporan," ujar Anggota Bawaslu RI Ratna Dewi Pettalolo dalam diskusi virtual, Ahad (12/7).
Dia memerinci, setelah Bawaslu menindaklanjuti temuan dan laporan dugaan pelanggaran, ada 163 kasus termasuk pelanggaran administrasi. Tren pelanggaran yang sering dilakukan ialah anggota panitia pemungutan suara (PPS) dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) tidak memenuhi persyaratan.
Kemudian, 31 kasus merupakan pelanggaran kode etik. Tren pelanggarannya kategori ini adalah anggota Panitia Pengawas Pemilihan Kecamatan menjadi pengurus partai politik dan memberi dukungan kepada bakal pasangan calon kepala daerah.
Selain itu, ada empat kasus pelanggaran yang masuk ranah tindak pidana. Menurut Ratna, pelanggaran ini terjadi karena seseorang menghilangkan hak orang lain menjadi pasangan calon dan memalsukan dukungan pasangan calon perseorangan.
Ratna mengatakan, proses penanganan tindak pidana pemilu di Kepulauan Aru, Maluku, Waropen, Papua, Supiori, Papua, dan Rejang Lebong, Bengkulu telah memasuki tingkat penyidikan.
Kasus di Waropen pasal yang dikenakan adalah Pasal 71 ayat 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Kententuan itu menyebutkan, kepala daerah dilarang melakukan penggantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
Kasus di Supiori dikenakan Pasal 180 ayat 1 UU Pilkada. Pasal ini mengatur, setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menghilangkan hak seseorang menjadi calon kepala daerah dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan, serta denda paling sedikit Rp 36 juta dan paling banyak Rp 72 juta.
Pasal 180 ayat 1 juga dikenakan untuk kasus di Kepulauan Aru. Pasal 180 ayat 2 juga ditambahkan, setiap orang yang karena jabatannya dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum, menghilangkan hak seseorang menjadi kepala daerah atau meloloskan calon yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 96 bulan, serta denda paling sedikit Rp 36 juta dan paling banyak Rp 96 juta.
Sementara Kasus di Rejang Lebong, Bengkulu dikenakan Pasal 184 UU Pilkada juncto Pasal 41 ayat 1 dan ayat 2 UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh. Pasal 184 itu berisi ketentuan, setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar atau menggunakan surat palsu untuk persyaratan menjadi kepala daerah, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan, serta denda paling sedikit Rp 36 juta dan paling banyak Rp 72 juta.
Sedangkan, ketentuan UU 8/2019 yang dikenakan tersebut terkait perlindungan jamaah haji dan petugas haji. Perlindungan atas warga negara Indonesia di luar negeri, hukum, keamanan, serta jiwa, kecelakaan, dan kesehatan.
Selain itu, Ratna melanjutkan, sebanyak 401 kasus termasuk pelanggaran hukum lainnya seperti pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN). Tren pelanggaran yang dilakukan yaitu ASN memberikan dukungan politik melalui media sosial dan melakukan pendekatan atau mendaftarkan diri ke partai politik.
Ratna menyebutkan, data terbaru, Bawaslu telah menindaklanjuti 415 kasus dugaan pelanggaran netralitas ASN. Akan tetapi, 46 kasus dihentikan. Sedangkan, tiga kasus masih dalam proses dan 366 direkomendasikan kepada Komisi ASN (KASN) untuk ditindaklanjuti.
"Ini menunjukkan bahwa pada tahapan ini angka pelanggaran ini sudah cukup tinggi. Kita belum memasuki tahapan-tahapan lain yang seringkali angka pelanggarannya itu meningkat misalnya tahapan kampanye," kata Ratna.