REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah praktisi pendidikan menemukan istilah 'Merdeka Belajar' telah didaftarkan sebagai merek dagang sebuah perusahaan pendidikan swasta nasional sejak 2018. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan praktisi pendidikan, akan menguntungkan perusahaan pendidikan swasta tersebut.
Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim mengatakan dirinya khawatir dengan adanya fakta tersebut. Sebab, sering kali kegiatan di tempatnya mengajar menggunakan istilah Merdeka Belajar.
"Di sekolah, di buku panduan dan seterusnya, kita euforia dengan istilah Merdeka Belajar. Singkat cerita, kita dapat info dari beberapa kawan adanya istilah Merdeka Belajar dalam konteks perusahaan. Saya kaget juga," kata Satriwan, dalam telekonferensi, Jumat (10/7).
Menurut dia, jika istilah ini digunakan oleh pemerintah, termasuk instansi pendidikan resmi di Indonesia akan masuk royalti kepada perusahaan pendidikan swasta bersangkutan. "Jangan sampai seolah-olah negara dalam hal ini menggunakan idiom yang sudah dipakai oleh perusahaan. Kan sama saja dengan mempopulerkan perusahaan tersebut," kata Satriwan menambahkan.
Sementara itu, Pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa (PKBTS) Yogyakarta Darmaningtyas menilai, jika penggunaan nama ini tidak membayar royalti mungkin tidak ada masalah. Namun, ia khawatir akan berimplikasi kepada pembayaran royalti yang harus dibayar negara.
Konsep Merdeka Belajar sendiri sebenarnya sudah dikenal oleh praktisi pendidikan karena merupakan buah pikiran Ki Hajar Dewantara. Darmaningtyas menjelaskan, pada intinya konsep yang dibuat oleh Ki Hajar Dewantara yaitu memberikan kebebasan kepada minat dan bakat murid.
Darmaningtyas menjelaskan, salah satu produk sekolah Taman Siswa adalah seniman Djaduk Ferianto. "Itu produk Taman Siswa. Jaman dia tersedia berbagai alat musik termasuk gamelan, dan sebagainya. Anak boleh memilih kegiatan yang mereka sukai," kata Darmaningtyas.