Jumat 10 Jul 2020 13:40 WIB

Covid-19, Momentum Merebut Kembali Kedaulatan Telekomunikasi

Momentum Covid-19 harus menjadi titik balik paradigma telekomunikasi di tanah air.

Virus corona (ilustrasi).
Foto:

Menjalankan new normal virtual world butuh sejumlah prasyarat baik menyangkut technical aspect, legislation aspect, maupun competence aspect. Dalam masa darurat Covid-19 ini prasyarat tersebut tidak terlalu dituntut, karena memang sedang darurat. Namun untuk jangka panjang harus ada pengaturan yang terpadu dan komprehensif antara lain menyangkut legitimasi, reliability, proteksi keamanan data, hal-hal menyangkut hak atas kekayaan intelektual, dan lain sebagainya.

Aspek pengaturan yang menyangkut dunia teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Indonesia baru ada 3 di Undang Undang, yaitu Undang Undang Telekomunikasi, Undang Undang Penyiaran, dan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Padahal untuk menjalankan sistem virtual secara menyeluruh butuh perangkat peraturan yang lebih komplit setingkat Undang Undang.

Sebagai pembanding, Negara tetangga Malaysia sudah memilik perangkat undang undang (act) di bidang elektronik yang sangat memadai seperti Computer Crime Act 1997, the Digital Signature Act 1997, the Telemedicine Act 1997, and the Copyright Act 1987 (Amendment Act in 1997). Disusul kemudian dengan the Communication and Multimedia Act 1998, the Electronic Commerce Act 2006, the Electronic Government Activities Act 2007, and Personal Data Protection Act 2010.

Sementara di Indonesia, sudah hampir tiga dekade internet masuk, tingkat penggunaan sudah sangat masif, aspek-aspek sosial ekonomi yang di-internet-kan sudah cukup banyak, tetapi perangkat hukum yang mengaturnya sangat minim. Boro-boro UU Telemedicine seperti yang sudah dimiliki Malaysia, UU Perlindungan Data Pribadi saja hingga kini mangkrak di DPR. UU Konvergensi Telematika juga gagal diwujudkan walau sudah sempat dibahas para legislator bertahun-tahun yang lalu.

Dari sisi technical kita juga menghadapi sejumlah tantangan yang tidak ringan karena masih begitu banyak blank spot baik secara kualitas maupun kuantitas. Di kampung saya Kalsel, ada sebuah desa bernama Tebing Siring. Di desa sini terdapat 4 buah SD Negeri yang luput dari sebaran sinyal telekomunikasi.

Untuk dapat sinyal handphone, guru-guru di SD itu harus mencari dataran agak tinggi. Saat school from home diterapkan mereka kalang kabut. Sangat mungkin sekolah-sekolah itu gagal menjalankan program school from home karena vacuum of infrastructure.

Dalam konteks ini, bolehlah kita bertanya di mana Negara berada saat murid SD  membutuhkan telekomunikasi untuk belajar. Jawaban atas pertanyaan ini ada di dalam Undang Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Dalam UU ini, telekomunikasi sebagai fondasi penyelenggaraan sistim daring dipegang sepenuhnya oleh swasta, koperasi, dan BUMN. 

Pemerintah diseting oleh undang undang hanya untuk menjalankan fungsi kebijakan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan. Jadi BTS, tower, optic, satelit dan kabel-kabel yang bergelayutan di tiang-tiang itu, yang digunakan untuk melayani ratusan juta rakyat Indonesia main WA tidak ada yang milik pemerintah.

Konsep pemisahan fungsi (policy dan execution) antara pemerintah dan non pemerintah ini menjadi ciri khas sebuah sistem perdagangan bebas yang dianut kapitalisme. Pemerintah duduk saja, biarkan swasta bekerja. Begitu inti doktrin Jefferson yang diucapkan sekitar 2,5 abad yang lalu. 

Hasilnya, industri telekomunikasi terbentuk berdasar hukum pasar. Di mana ada tumpukan uang disitu modal ditanam. Desa Tebing Siring itu, mungkin area nonprofit yang tidak dilirik oleh pemodal. Even mereka adalah bagian dari rakyat Indonesia yang berhak atas manfaat telekomunikasi guna mendapatkan hak atas akses informasi yang dijamin oleh konstitusi.

Tidak ada yang keliru dengan kebijakan swastanisasi alias liberalisasi selama hal itu mendatangkan kemanfaatan yang adil dan merata. Namun yang keliru adalah berharap adanya keadilan dan pemerataan datang dari kompetisi bebas.

Oleh sebab itu tidak salah jika akhirnya Fukuyama mengoreksi tesisnya mengenai demokrasi dan kapitalisme. Negara perlu hadir dengan kelembagaan yang lebih kuat guna menutupi celah ketidakadilan yang ditimbulkan oleh pasar. Di tubuh pemerintah telekomunikasi, sejatinya kesadaran itu mulai tumbuh.

Proyek Palapa Ring yang digelar Pemerintah untuk menyervis daerah triple T (terpencil, tertinggal, terdepan) membuktikan bahwa Negara perlu turun ke lapangan, tidak sekedar membuat kebijakan. Swastanisasi telekomunikasi dibutuhkan pada zamannya, tetapi tidak untuk sampai akhir zaman.

Penguatan representasi negara di sektor telekomunikasi bukan berarti memundurkan roda sejarah, tetapi justru untuk melanjutkan kejayaan dan kedaulatan telekomunikasi Indonesia. Para pemuja demokrasi pasti keberatan atas gagasan ini.

Tapi coba lihat, Indosat telah lama terbang dan begitu sulit dipanggil pulang. Kepemilikan saham NKRI di PT Telkom hanya 52,09 persen, included kepemilikan Singapura di anak perusahaan Telkom (Telkomsel) sebanyak 35 persen.

Global player di industri telco hilir mudik mengeksploitasi pasar Indonesia. Atas nama kompetisi liberal, pihak asing dengan bebas dapat memiliki telekomunikasi di Indonesia sampai dengan 67 persen, tetapi ternyata mereka pilih-pilih lahan dalam menanam tower-nya. Konsep pemerataan memang tidak dikenal di dunia bisnis.

Momentum Covid-19 harus menjadi titik balik paradigma telekomunikasi di tanah air. Cukuplah sudah jalan liberalisasi telekomunikasi selama dua dasawarsa terakhir ini dengan segala realitasnya.

Kita akui, telekomunikasi bertumbuh mekar  tanpa Negara keluar dana yang besar. Namun momentum itu sudah lewat. Indonesia harus keluar dari comfort zone yang meninabobokan bangsa ini. Kita harus terganggu oleh hasil pengukuran ITU tahun 2017 di mana Indonesia ada di peringkat 111 dari 176 negara dalam hal kemajuan telekomunikasi.

Indonesia berada jauh di bawah Malaysia apalagi Singapura. Bahkan peringkat Vietnam yang tahun 1975 masih perang saudara berada di atas Indonesia.

Di depan, terbentang fakta yang membuka mata. Tanpa ada Covid-19 pun, teknologi informasi telah menjadi bagian penting bagi kemajuan suatu bangsa.

Ekonomi digital telah dan akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru. Pemerintah Indonesia sudah berancang-ancang untuk masuk ke dunia baru tersebut, meskipun dalam kondisi abut. Beberapa Perpres telah dikeluarkan, antara lain tentang road map e-commerce dan Perpres mengenai proyek pita lebar Indonesia.

Target-target pertumbuhan ekonomi digital telah ditetapkan. Namun hal  terpenting yang belum dilakukan adalah menyelesaikan pekerjaan di bagian hulu yang meliputi availability, accessability, dan affordability telekomunikasi. Swasta tidak dapat menuntaskan tiga hal tersebut sendirian.

Harapan yang ada saat ini hanya mengandalkan PT Telkom sebagai satu-satunya operator telekomunikasi yang berstatus BUMN. Telkom, yang di dalamnya ada Telkomsel sudah bekerja sangat keras untuk ikut pemerataan pembangunan telekomunikasi. Namun sebagai perseroan, Telkom juga tidak mungkin mengumbar investasinya di area non profit, walau di situ ada rakyat yang berhak atas telekomunikasi.

Sebagai perusahaan terbuka (Tbk) setiap sen capital expenditure Telkom dipertanggungjawabkan kepada pemegang saham publik. Lumrah bila masih ada banyak spot yang luput dari rambatan sinyal Telkom sebagaimana yang dialami siswa SD di desa Tebing Siring itu. Di kawasan seperti inilah mestinya Negara hadir membawa sinyal internet sekaligus paket pulsanya, walau itu berarti membongkar status quo geopolitik telekomunikasi.

Sebagaimana premis dari Francis Fukuyama, kehadiran negara adalah jawaban yang paling tepat untuk menutup kelemahan industri. Ada 3 alasan untuk itu.

Pertama, fakta bahwa swasta tidak punya pretensi  menghadirkan telekomunikasi yang ada di mana-mana (availability), gampang diakses (accesability) dan harga yang terjangkau (affordability). Kedua Indonesia membutuhkan telekomunikasi yang sangat handal dan massif untuk mendukung implementasi digital economy dan kegiatan masyarakat lainnya. Ketiga, telekomunikasi merupakan public utility yang dalam penjelasan undang undang telekomunikasi dinyatakan sebagai cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak.

Lalu dari pintu sebelah mana Negara bisa masuk ke sektor kompetitif ini, sementara trend global adalah privatisasi. Untuk menemukan jalan tengah, tidak perlu ada dikotomi antara privatisasi dengan keterlibatan negara dalam sektor ekonomi.

Dua kutub mazhab ekonomi itu bisa berjalan berdampingan. Negara hanya perlu menguatkan sisi kelembagaan dengan cara menjadi bagian dari penyelenggaran telekomunikasi, agar dapat mempengaruhi arah pertumbuhan industri yang lebih berpihak kepada kepentingan orang banyak dan sesuai dengan kebutuhan Negara.

Untuk menerapkan konsep ini, jalan yang harus dilalui tidak saja panjang namun juga berliku. Tetapi selalu ada cara berbuat selama ada niat. Itu semua  tergantung political will dan keberanian dari pemerintah.

Apakah ingin selamanya meringkuk di dalam cengkeraman harimau kapitalisme dunia, atau ingin menjadi macan dengan kedaulatan penuh di jagat telekomunikasi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selamat ulang tahun yang ke 55 PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk.

-- Banjarbaru, 6 juli 2020.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement