Jumat 10 Jul 2020 00:24 WIB

Kemenkes Harus Atur Sanksi Pelanggaran Tarif Rapid Test

Tanpa sanksi harga rapid test tetap bisa melebihi aturan.

Rep: Haura Hafizhah/ Red: Indira Rezkisari
Pelaksanaan rapid test. Pemerintah telah mengatur tarif rapid test sebesar Rp 150 ribu.
Foto: Dok. Agp
Pelaksanaan rapid test. Pemerintah telah mengatur tarif rapid test sebesar Rp 150 ribu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ombudsman Republik Indonesia (ORI) mengatakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) harus mengatur sanksi seperti teguran lisan, teguran tertulis, denda, pembekuan izin dan pencabutan/pembatalan izin jika ada rumah sakit melanggar tarif rapid test Rp 150 ribu.

Surat Edaran (SE) Nomor HK.02.02/I/2875/2020 yang dikeluarkan Kemenkes mengatur batas tarif tertinggi yang harus dibayarkan untuk pemeriksaan rapid test antibodi. Yaitu Rp 150 ribu.

Baca Juga

"Masalahnya sekarang biaya rapid test bisa melebihi Rp 150 ribu. Para rumah sakit berani seperti itu karena di dalam SE biaya rapid test yang dibuat Kemenkes tidak tercantum sanksinya jika ada yang melanggar. Harusnya ada dong, seperti teguran tertulis, lisan hingga denda," kata Anggota Ombudsman RI, Alvin Lie saat dihubungi Republika, Kamis (9/7).

Kemudian, ia melanjutkan masyarakat jadi bingung untuk membayar tes rapid test. Sebab, pasti dikenakan biaya berbeda di setiap rumah sakit. Hal ini harus diluruskan oleh Kemenkes. Kalau buat aturan sekaligus sama sanksinya.

Ia mencontohkan hari ini di salah satu rumah sakit di Gorontalo, Sulawesi Utara menyesuaikan harga rapid test sesuai SE Kemenkes. Namun, biaya tersebut akan bertambah jika minta surat keterangan atau hasil tertulis.

"Jadi hanya rapid test saja Rp 150 ribu. Kalau minta surat keterangan atau hasil tertulis jadi Rp 243 ribu. Nah, ini bagaimana nih? Kemenkes harus segera buat aturan dan sanksi bagi yang melanggar agar para rumah sakit jera," kata dia.

Aturan tarif rapid test dibuat karena pemerintah ingin menetapkan tarif maksimal bagi masyarakat yang ingin melakukan rapid test lantaran tarif saat ini masih bervariasi. Aturan diharap juga menghindari praktik komersialisasi rapid test.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement