Rabu 08 Jul 2020 06:15 WIB

Eks Sekjen Kemenhan: Pembelian 8 Osprey Klaim Sepihak AS

Kemenhan RI dilaporkan membeli pesawat MV-22 Block C Osprey senilai Rp 28,89 triliun.

Rep: Antara/Erik PP/ Red: Erik Purnama Putra
DSCA menyetujui pembelian delapan unit pesawat MV-22 Block C Osprey oleh Kemenhan RI.
Foto: Airvectors.net
DSCA menyetujui pembelian delapan unit pesawat MV-22 Block C Osprey oleh Kemenhan RI.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Defense Security Cooperation Agency (DSCA) atau Badan Kerja Sama Pertahanan Keamanan di bawah Kementerian Pertahanan Amerika Serikat (AS) menyetujui penjualan sejumlah alat utama sistem senjata (alutsista) kepada Republik Indonesia (RI) melalui Kementerian Pertahanan. Lewat pernyataan yang diunggah di laman resmi DSCA pada Senin (6/7), total alutsista yang dijual senilai 2 miliar dolar AS atau setara Rp 28,89 triliun. Dijelaskan pula, DSCA telah mengirim notifikasi tentang kemungkinan penjualan pesawat angkut tersebut ke Kongres AS pada hari yang sama.

Alutsista yang dijual itu berupa delapan unit pesawat angkut militer militer jenis MV-22 Block C Osprey disertai peralatan pendukungnya, termasuk misil, radar, sistem navigasi, hingga senapan mesin atau otomatis. Pesawat MV-22 Block C Osprey tersebut merupakan perpaduan helikopter dan pesawat turboprop (baling-baling). Keunggulan pesawat ini adalah baling-baling bisa berputar ke arah depan maupun ke atas.

Menanggapi hal itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan (Sekjen Kemenhan) periode 2019-2020, Laksamana Madya Laksdya (Purn) Agus Setiadji, mengataan, informasi penjualan alutsista dari pemerintah AS kepada RI masih klaim sepihak. Menurut dia, penjualan pesawat MV-22 Osprey masih belum resmi, lantaran baru sebatas persetujuan penjualan yang dirilis DSCA.

Agus pun menjelaskan, pengadaan alutsista di Markas Besar (Mabes) TNI dan tiga angkatan membutuhkan proses yang matang, dan menyesuaikannya dengan kebutuhan pertahanan RI untuk bisa diproses di Kemenhan. Karena itu, pembelian alutsista tidak bisa tiba-tiba muncul, karena ada pihak-pihak tertentu ingin membelinya.

"Itu baru klaim sepihak pemerintah AS. Konsep pengadaan perencanaan tidak semata-mata kita ingin, sekarang kita beli. Kita tidak seperti metode pembelanjaan rumah tangga," kata Agus saat peluncuran bukunya yang berjudul Ekonomi Pertahanan: Menghadapi Perang Generasi Keenam yang diadakan Jakarta Defence Studies (JDS) di Jakarta, Selasa (7/7).

Menurut Agus, pembangunan kekuatan alutsista apa pun tipenya sepenuhnya ditentukan oleh Kemenhan melalui proses yang ketat dan bersifat rahasia. Informasi tentang persetujuan Departemen Luar Negeri AS atas rencana penjualan delapan pesawat tiltrotor MV-22 Osprey Block C kepada Indonesia, kata dia, merupakan statemen dari pihak AS semata. Sehingga untuk kepastian pembelian belum benar-benar resmi.

Juru Bicara Menteri Pertahanan Menhan Dahnil Anzar Simanjuntak enggan berkomentar tentang rencana pembelian Osprey tersebut. "Saya kira cukup," kata Dahnil.

Selain Dahnil, hadir sebagai pemateri dalam diskusi virtual ini adalah Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) periode 2012-2014 Laksamana (Purn) Marsetio dan Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Meutya Viada Hafid. Marsetio menyinggung perang generasi keenam yang harus menjadi perhatian pemerintah RI. Menurut dia, AS merupakan negara pertama yang sudah membangun angkatan keenam. Angkatan tersebut siap menghadapi cyber walfare.

Bahkan, angkatan keenam tersebut anggarannya melebihi kekuatan tradisionalbya, seperti Navy Seal (TNI AL). "AS dengan kekuatan kapal induk 25 buah dengan kekuatan nuklir, 75 kapal selam dengan rudal ICBM. Ini dunia yang kita hadapi. Tak lepas bagaimana menguasai ruang udara," jelas Marsetio yang juga guru besar Universitas Pertahanan tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement