REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Pemantauan Pelaksana Otonomi Daerah (KPPOD) menyoroti soal klaster Adminsitrasi Pemerintahan dalam Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) yang saat ini tengan dibahas di DPR. Direktur Eksekutif KPPOD Robert Endi Jaweng menilai, jika RUU Ciptaker disahkan, maka hal tersebut berpotensi menggerus kewenangan pemerintah daerah serta berdampak negatif bagi proses layanan di daerah.
"Terjadi pula penyempitan hakikat dan mekanisme dari semestinya yaitu pemberian kewenangan menjadi sekedar penyerahan urusan/tugas (delegasi). Padahal, konstitusi menetapkan kedudukan dan kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus sendiri penyelenggaran pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan," kata Robert dalam diskusi daring, Rabu (1/7).
Robert menjelaskan, hal tersebut lantaran di dalam klaster Administrasi Pemerintahan RUU Ciptaker terlihat penegasan kedudukan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan. Selain itu, dia menilai, penataan kewenangan tersebut juga ikut berdampak terhadap keberadaan daerah otonom sebagai satu entitas hukum mandiri dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Dirinya memandang, daerah otonom telah direduksi hanya sebagai pemerintahan daerah (pemda), badan atau pejabat pemerintah yang melaksanakan kewenangan delegatif dari Presiden. "Di sini, terjadi reduksi tata kerja, pola relasi dan pertanggungjawaban yang berdimensi ketatanegaraan menjadi sekedar administrasi pemerintahan," ujarnya.
KPPOD menyampaikan sejumlah rekomendasi terkait hal tersebut. Pertama keberadaan norma baru sebagaimana yang terdapat di pasal 162 hingga pasal 164, yang memberikan kewenangan kepada presiden untuk mendelegasikan urusan pemerintahan kepada pemda perlu direvisi berdasarkan sistem ketatanegaraan. RUU Cipta Kerja wajib memperhatikan dasar-dasar bernegara dan susunan organisasi negara maupun pemerintahan.
"Politik kebijakan hingga tata cara penyerahan urusan pemerintahan memperhatikan kedudukan dan kewenangan daerah otonom sebagaimana termaktub (atribusi) dalam konstitusi,"
Kemudian yang kedua, dia menilai, kewenangan dan mekanisme pembatalan perda dilakukan dengan dua cara, pertama dalam kerangka judicial review, Mahkamah Agung (MA) berwenang melakukan pengujian dan pembatalan atas perda berdasarkan pengajuan keberatan/gugatan para pihak (pemerintah maupun masyarakat) yang memiliki legal standing. Kemudian, dalam kerangka executive review, pemerintah berwenang melakukan evaluasi dan pengawasan preventif atas ranperda sebagai bagian tugas binwas pemerintah pusat atas daerah.
"Ketiga, NSPK merupakan standar nasional yang menjadi pedoman bagi seluruh daerah, sebagai acuan teknis bagi pemda dalam menyusun SOP pelaksanaan layanan perizinan," ujarnya.