Rabu 01 Jul 2020 05:28 WIB

Polisi dan Hasrat Ketertiban

Polri diharapkan tidak hanya menjadi alat penyambung lidah kekuasaan.

Dian Andriasari, Dosen Fakultas Hukum Unisba, Ph.D Candidate UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Foto:

Manusia pasti akan suka akan kepastian, ketertiban. Hukum ditugasi untuk menciptakan kondisi itu kemudian. Setelahnya dikritik habis-habisan karena rezim kepastian dan ketertiban senantiasa bergesekan, bersilang dengan tugas-tugas pengembanan hukum yang lainnya yakni keadilan dan kemanfaatan.

Di sini kepastian, bisa menjadi kebenaran yang “ditertibkan” dan tak mau diganggu gugat dan dogmatis. Dalam sejarahnya, kepastian kerap menjadi rezim yang mempunyai kebenaran mutlak.

Menyitir gagasan Foucault bahwa kekuasaan melahirkan anti-kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud dalam konteks tertib sosial yang dijalankan oleh kepolisian bersumber dari kekuasaan yang sebagian diberikan oleh negara.

Cara Foucault memahami kekuasaan sangat orisinal. Terlihat dalam karyanya Surveiller et punir (1975). Pada akhir buku tersebut, ia mengatakan “kekuasaan yang menormalisir” tidak hanya dijalankan di dalam penjara, tetapi juga beroperasi melalui mekanisme-mekanisme sosial yang dibangun. Dengan demikian, pembentukan individu yang berdisiplin dalam masyarakat modern, tidak hanya dilakukan oleh Lembaga-lembaga represif (penjara, polisi) tetapi juga dalam interaksi masyarakat dan semua bentuk kegiatan sosial.

Foucault menggali pengetahuan praktis tentang subyek dan kekuasaan, semakin kelihatan konsepsi kekuasaan lebih mengarah ke subyektifasi daripada obyektivasi kekuasaan. Maksudnya “saya sebagai alat kekuasaan, lebih dipahami sebagai hasil dari dominasi daripada sebagai sarana atau alat kebebasan individual. Akan tetapi, Foucault yang anti-finalis mempertimbangkan adanya keberagaman hasil tindakan manusia dan kekhasan setiap konsepsi baru tentang dunia."

Konsepsi sejarahnya memperhitungkan adanya keterputusan, diskontinuitas, kontradiksi. Pertimbangan ini justru memperlihatkan dengan lebih baik tatanan ruang yang dapat memberi tempat dan menjadi kerangka bagi bermacam-macam representasi dunia. Barangkali lelucon Gusdur, dan eksistensi Polri hari ini yang melakukan “shifting paradigm” dalam sistem ketatanegaraan yang memisahkan diri dari ABRI, Polri melakukan pendekatan-pendekatan humanis dan turun dalam arena kontestasi simpati publik.

Ihwal yang pernah dikatakan Jenderal Hoegeng merupakan filosofi mendasar bagi polisi dalam menyelenggarakan pemolisiannya. Polisi tidak hanya menjelma sebagai alat kepanjangan tangan kekuasaan untuk memuasakan hasrat menciptakan ketertiban, lebih dari itu, polisi juga dapat menjadi ikon kemanusiaan, simbol peradaban. Dengan kata lain, polisi juga selalu siap dengan sebuah kritik, karena kritik dalam sebuah kehidupan sosial-politik bukanlah milik ruang privat, ia juga milik publik.

Dirgahayu Polri!!

*) PENULIS adalah Dosen Fakultas Hukum Unisba, Ph.D Candidate UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement