REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai mengapungkan wacana reshuffle atau perombakan kabinet. Ancaman reshuffle ditujukan kepada menteri-menteri yang dianggap tidak bisa bekerja cepat dan 'extraordinary' dalam penanganan pandemi Covid-19. Penanganan yang dimaksud tak hanya dari aspek kesehatan, namun juga kaitannya dalam perekonomian, dan penyaluran bantuan sosial.
Tak hanya merombak kabinet, Jokowi juga menyatakan kemungkinan adanya pembubaran lembaga. Namun ia tak menjelaskan lembaga seperti apa yang berpotensi untuk dibubarkan.
Pernyataan Jokowi soal perombakan kabinet ini disampaikan dalam sambutan Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Kamis (18/6) lalu. Saat itu sidang kabinet berlangsung tertutup dan tidak bisa diliput media. Baru pada Ahad (28/6) petang ini, video sambutan Presiden Jokowi dalam sidang kabinet tersebut diunggah pihak Istana Kepresidenan di media sosial.
Dalam sambutannya, presiden terlihat kecewa karena jajarannya tak bisa bekerja dengan ritme 'extraordinary' dalam penanganan Covid-19. Padahal menurutnya, diperlukan sebuah ritme kerja yang di atas normal dan kebijakan yang 'tak normal' sebagai respons terhadap krisis kesehatan dan ekonomi yang terjadi.
Presiden juga tampak kesal karena sejumlah kementerian terlihat lambat dalam melakukan belanja anggaran. Padahal, anggaran penanganan Covid-19 sudah disiapkan dengan nilai triliunan. Anggaran kesehatan misalnya, Jokowi menyebut sudah disiapkan Rp 75 triliun. Dari angka tersebut, baru 1,53 persen yang sudah terserap.
Jokowi meminta menteri terkait untuk segera melancarkan belanja sektor kesehatan seperti pembayaran tunjangan dokter dan tenaga medis. Jokowi juga menyinggung soal penyaluran bantuan sosial yang terkesan lambat. Ia meminta menekankan bahwa penyaluran bantuan harus bisa menyentuh 100 persen masyarakat yang membutuhkan.
Di bidang ekonomi, Jokowi juga meminta agar stimulus bisa segera direalisasikan. Khususnya stimulus untuk pelaku UMKM. Jokowi meminta agar 'bantuan' ini segera diberikan tanpa menunggu pelaku ekonomi tumbang lebih dulu.
"Hanya gara-gara urusan peraturan, urusan peraturan. Ini extraordinary. Saya harus ngomong apa adanya, ngga ada progres yang signifikan. Langkah apapun yang extraordinary akan saya lakukan. Bisa saja, membubarkan lembaga. Bisa saja reshuffle. Udah kepikiran ke mana-mana saya," ujar Presiden Jokowi dengan nada kesal seperti dalam video yang diunggah Sekretariat Presiden, Ahad (28/6).
Presiden pun mengaku siap menerbitkan payung hukum baru bagi menteri-menterinya demi memperlancar penanganan Covid-19, baik dari sisi kesehatan, ekonomi, atau sosial. Misalnya, peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Jokowi bahkan mengaku siap menerbitkan Perppu baru bila diminta.
"Kalau memang diperlukan. Karena memang suasana (krisis) ini harus ada, suasana ini tidak, bapak ibu tidak merasakan itu sudah. Kalau yang sudah ada belum cukup. Asal untuk rakyat, asal untuk negara. Saya pertaruhkan reputasi politik saya," jelas Jokowi.
Dalam sambutannya, Jokowi juga menyayangkan karena ia tidak merasakan suasana krisis dalam kinerja menteri-menterinya. Ia pun mengutip laporan OECD yang menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia bisa merangsek minus 6 persen-7,6 persen. Bahkan Bank Dunia pun memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia bisa nyungsep ke angka minus 5 persen.
"Perasaan ini harus sama. Kita harus ngerti ini. Jangan biasa-biasa saja, jangan linear, jangan menganggap ini normal. Bahaya sekali kita. Saya lihat masih banyak kita yang menganggap ini normal," kata Jokowi.