Jumat 26 Jun 2020 06:11 WIB

Jenderal ‘Hamburger’, Anak Cijantung Pikat Sang Presiden

Jika tak menjadi tentara, mungkin Feisal Tanjung bisa menjadi raja preman Medan.

Pergantian Panglima ABRI dari Jenderal Edi Sudradjat kepada Jenderal Feisal Tanjung di Mabes Cilangkap pada 23 Mei 1993.
Foto: Buku Biografi Feisal Tanjung
Presiden ke-2 RI Soeharto dan Pangab Jenderal Feisal Tanjung.

Kesayangan Sarwo Edhie

Tidak terasa sudah enam tahun pangkat Mayjen disandangnya hingga 1991. Ia pun mulai bertanya-tanya ada apa? Sementara Try Sutrisno dan Edi Sudradjat sudah bintang empat. Pengalaman tempur Feisal tidak kalah banyak daripada Try maupun Edi. Salah satu kompi legendaris saat penumpasan G30S/PKI adalah kompi Tanjung. Dialah perwira komando kesayangan Jenderal Sarwo Edhie. Saat dia sebagai komandan kompi, komandan peletonnya adalah Sintong Panjaitan dan Wismoyo Arismunandar.

Dalam beberapa peristiwa penting, Sarwo menunjuk Feisal Tanjung sebagai komandan. Termasuk dalam operasi untuk memenangkan Irian Barat dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969. Tanjung juga yang memimpin ekspedisi ke Lembah X di Papua. Sintong Panjaitan selalu menjadi bagian dari tim Feisal Tanjung. Baik dalam operasi terhadap G30S/PKI maupun tugas-tugas operasi lintas udara ke Papua.

Jika membuka foto-foto maupun film peristiwa 1965, pasukan RPKAD menggunakan pakaian tidak lazim. Pakaian dinas lapangan (PDL) loreng darah mengalir, namun celananya berwarna hijau. Kolonel (Infanteri) Sarwo Edhie pun menggunakan pakaian aneh tersebut. Pakaian ini sebenannya sebuah 'kecelakaan'. Saat itu Lettu Feisal Tanjung dan kompinya sedang berada di Jakarta.

Mereka sedang disiapkan menyamar sebagai TNKU (Tentara Nasional Kalimantan Utara). Hendak diterjunkan di kawasan Malaysia dalam rangka Dwikora (Dua Komando Rakyat, pada 1965. Semua identitas baru (palsu) dipersiapkan untuk mereka. Sehingga mereka tidak lagi memiliki baret merah maupun PDL darah mengalir.

Saat itulah terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal (Letjen) Ahmad Yani dan sejumlah perwira seniornya lainnya. Termasuk teman seangkatan Feisal, Akmil Bandung 1961, Lettu (Zeni) Pierre Tendean. Maka, Kolonel Sarwo Edhie memerintahkan pasukan palsu TKNU menjadi kekuatan inti menumpas PKI. Mereka pun diberikan jaket dan baret merah yang tersisa di gudang RPKAD di Cijantung. Kompi Tanjung pun menjadi legendaris.

Dewan kehormatan

Ada apa sampai Feisal Tanjung menyandang pangkat bintang dua selama enam tahun lebih? Pada saat itu, kemudian terjadi peristiwa mengejutkan di Timor Timur. Sejumlah media asing memberitakan, peristiwa penembakan terhadap pengunjuk rasa prokemerdekaan Timor Timur di pemakaman Santa Cruz, Dili, pada 12 November 1991. TNI dituduh melakukan genosida terhadap rakyat Timor Timur.

Protes dari dunia internasional menyerang Indonesia. Menuntut dilakukannya penyelidikan independen. Washington Post menggambarkan insiden itu sebagai Tiananmen model Indonesia. Presiden Soeharto langsung turun tangan. Ia membentuk Komisi Penyelidik Nasional (KPN) dipimpin hakim agung, M Djaelani. Mabes ABRI pun mengirim tim investigasi yang dipimpin Wakil Kepala Badan Intelijen Strategis (Waka Bais) Mayjen Arie Sudewo.

Sudah cukup? Belum. Jelang tutup tahun 1991, Presiden Soeharto mengundang sejumlah menteri, termasuk Menhankam Jenderal (Purnawirawan) LB Moerdani, Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno, dan KSAD Jenderal Edi Sudradjat. Dalam laporan KPN menyebutkan jumlah korban tewas 50 orang dan 90 orang hilang. Laporan KPN ini berbeda dengan pernyataan Jenderal Try yang menyebut jumlah korban tewas hanya 19 orang.

Maka Presiden selaku panglima tertinggi TNI mengambil sikap. Mengganti jajaran pimpinan komando setempat. Tanggung jawab jatuh kepada Panglima Komando Pelaksana Operasi, Brigjen Rudolf Samuel Warouw. Teritorialnya mencakup seluruh Timor Timur. Begitu juga dengan atasannya, Pangdam Udayana Mayjen Sintong Panjaitan.

Panglima tertinggi ABRI memerintahkan KSAD secepatnya membentuk Dewan Kehormatan Militer (DKM). Bertugas meneliti kesalahan prosedur dan pelaksanaan komando setempat saat penanganan unjuk rasa 12 November 1991 tersebut. DKM dibentuk untuk memeriksa sejumlah perwira.

Mayjen Sintong, abituren Akmil 1963 adalah perwira berpangkat tertinggi yang akan diperiksa tim DKM. Untuk itu DKM harus dipimpin Mayjen paling senior yang memahami dan berpengalaman dalam operasi militer. Pilihan pun jatuh kepada Mayjen Feisal, komandan Seskoad. Sekaligus diminta mencari anggotanya yang lebih senior daripada Sintong.

Feisal sebagai ketua menyusun tim DKM. Wakil Ketua adalah Irjenad Mayjen Setiana dan Sekretaris Gubernur Akmil Mayjen Toni Hartono. Sebagai anggota, yaitu Asisten Logistik KSAD Mayjen R Sunardi, Asisten Personel KSAD Mayjen Sutopo, Komandan Pusat Kesenjataan Infanteri (Pussenif) Mayjen Suparman Ahmad, serta Asisten Sosial Politik Kassospol ABRI Mayjen Surjadi Soedirja. Sebagai cadangan adalah Pangdam Sriwijaya Mayjen Soewardi dan anggota DPR Fraksi ABRI Mayjen Sutedjo. Dari Sembilan personel DKM, tujuh di antaranya dari abituren Akmil 1961 dan dua dari abituren Akmil 1962.

Pada 20 Februari 1992, Ketua DKM Feisal Tanjung melaporkan rekomendasi kepada Presiden Soeharto. Ia didampingi Pangab Jenderal Try dan KSAD Jenderal Edy. Ada tiga rekomendasi. Pertama; perwira yang seharusnya berbuat banyak ketika terjadi insiden, namun tidak menjalankan tugas sesuai fungsinya. Kedua; perwira yang dianggap sudah berbuat sesuai dengan fungsinya, namun dianggap belum optimal, karena bermacam-macam hal, karena faktor kemampuan. Ketiga; perwira yang sudah menjalankan tugasnya secara optimal dikembalikan ke kesatuannya untuk terus menjalankan tugas.

Hasil rekomendasi DKM yang paling nyata adalah pencopotan Mayjen Sintong Panjaitan dari jabatan pangdam Udayana. Selain itu juga diberhentikannya Brigjen Rudolf Warouw dari panglima komando pelaksana Operasi Timor Timur.

Pangab lima tahun

Sukses menjadi ketua DKM, Feisal Tanjung pun mendapatkan promosi sebagai kepala staf umum (kasum) ABRI menggantikan Laksdya Sudibyo Raharjo. Sekaligus kenaikan pangkat menjadi Letjen, satu bulan sebelum ulang tahunnya ke 53 tahun pada Juni 1992. Dengan kenaikan pangkatnya itu, genap tujuh tahun lebih dua bulan ia menyandang pangkat Mayjen. Feisal pun mengira, inilah akhir dari karier militernya.

Namun tanpa diduga, hanya 10 bulan saja ia menjadi kasum ABRI. Presiden Soeharto pun kepincut jenderal 'hamburger' lulusan Seskoad Jerman 1972 itu sebagai panglima ABRI (pangab) menggantikan Edi Sudradjat. Tiga anak Cijantung pun berhasil meraih posisi tertinggi di ABRI, setelah Edi Sudradjat hanya sekitar tiga bulan menjadi pangab pada Februari hingga Mei 1993. Sebelumnya LB Moerdani menjadi pangab pada 1983-1988.

Feisal merupakan salah seorang perwira ABRI yang memegang jabatan tertinggi tanpa melalui jenjang KSAD. Sebelumnya, Jenderal LB Moerdani juga melaju ke jabatan pangab ABRI tanpa melalui jabatan KSAD. Melainkan dari jabatan asisten intelijen Hankam ABRI/panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) merangkap wakil kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin). Adapun Jenderal M Yusuf menjadi menteri pertahanan dan keamanan (menhankam)/pangab pada 1978-1983. Dia pun tanpa melalui jabatan KSAD, melainkan menteri perindustrian pada 1968-1978.

Tanjung menjadi pangab dalam usia 54 tahun. Ia pun merasa hanya akan menjabat selama satu tahun saja. Media massa pun saat itu membuat ulasan jelang Tanjung menginjak usia pensiun ABRI pada 55 tahun. Di luar dugaan, Presiden Soeharto memperpanjang usia pensiunnya hingga kabinet selesai, yaitu Maret 1998. Hingga usia Tanjung jelang 59 tahun.

Ya, Presiden punya hak prerogratif bisa memperpanjang usia perwira tinggi dalam hal ini pangab hingga usia 60 tahun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement