Kamis 25 Jun 2020 19:58 WIB

Terima Rapor Merah, KPK Hargai Pengawasan Kinerjanya

KPK akan mempelajari penyebab rapor merah kinerjanya.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Indira Rezkisari
Gedung KPK. KPK di bawah Firli Bahari cs mendapatkan rapor merah untuk kinerjanya periode Desember 2019 hingga Juni 2020.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Gedung KPK. KPK di bawah Firli Bahari cs mendapatkan rapor merah untuk kinerjanya periode Desember 2019 hingga Juni 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  menghargai inisiatif masyarakat mengawasi kinerjanya. Pernyataan KPK menanggapi rapor merah dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII).

Penilaian rapor merah tersebut berdasarkan hasil evaluasi kinerja KPK era Firli Bahuri cs periode Desember 2019-Juni 2020.

Baca Juga

"Tentu nanti kami akan pelajari kajian tersebut," kata Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri dalam pesan singkatnya, Kamis (25/6).

Ali juga mengundang TII dan ICW untuk datang ke lembaga antirasuah. "Kapan perlu jika dibutuhkan TII dan ICW kami undang untuk paparan di KPK. (alau ada data yang keliru bisa dikoreksi, tapi jika memang pembacaan dan rekomendasinya tepat tentu bisa bermanfaat sebagai masukan untuk KPK," tuturnya.

Ali melanjutkan, KPK berharap, akan lebih banyak kajian dan masukan yang disampaikan masyarakat dan kampus ataupun pihak lain ke KPK.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyampaikan KPK Jilid V merupakan era yang paling suram. Terlebih, KPK kini diisi oleh 5 komisioner yang kebijakannya kerap kali menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.

"Tak pelak, proses tata kelola organisasi pun menjadi problematika baru di lembaga anti rasuah ini. Begitu pula pada aspek penindakan dan pencegahan, yang mana juga tidak menunjukkan perkembangan signifikan dibanding kepemimpinan sebelumnya. Kombinasi seperti ini tentu hanya akan menafikan ekspektasi publik terhadap kerja pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK," kata Kurnia dalam diskusi di Jakarta, Kamis (25/6).

Kurnia menuturkan, terdapat sejumlah poin yang menggambarkan situasi stagnansi di KPK saat ini. Pertama, upaya penindakan yang dilakukan oleh KPK menurun drastis dan seringkali justru menimbulkan polemik di tengah masyarakat.

Hal ini didasari atas minimnya tangkap tangan, banyaknya buronan, perkara besar yang tak tersentuh, dan sikap abai dalam melindungi para saksi. Padahal, lanjut dia, instrumen penindakan menjadi salah satu bagian utama untuk memberikan efek jera pada pelaku kejahatan korupsi.

Melanjutkan pernyataan Kurnia, Peneliti TII, Alvin Nicola mengungkapkan rapor merah pun didapat KPK dari fungsi pencegahan yang belum berjalan optimal. Menurut Alvin, tidak optimalnya pencegahan KPK dapat ditelusuri dari minimnya koordinasi dan supervisi dengan aparat penegak hukum dan pemerintah daerah, ketiadaan strategi baru dalam pencegahan kerugian keuangan negara, stagnasi program pencegahan korupsi di sektor strategis, dan strategi nasional pencegahan korupsi belum efektif.

"Sehingga KPK dalam hal ini penting untuk merombak ulang strategi pencegahan karena terbukti gagal dalam enam bulan terakhir," katanya.

Ketiga, sambung Alvin, kebijakan internal KPK seringkali hanya didasarkan atas penilaian subjektivitas semata. Bahkan, ucap Kurnia, dengan melihat iklim di lembaga anti rasuah saat ini, publik dapat memahami bahwa terdapat dominasi dari salah satu Pimpinan KPK dalam mengambil setiap kebijakan.

Hal ini, kata dia, merujuk pada fakta yang terjadi di KPK, diantaranya, pengembalian paksa penyidik KPK ke Polri, penafsiran keliru publikasi penghentian penyelidikan, tertutupnya akses publik, upaya intervensi pemanggilan saksi, kental dengan gimmick politik, dan memberikan perlakuan khusus kepada tersangka.

"Tentu ini menunjukkan minimnya pengetahuan dari Pimpinan KPK untuk menciptakan tata kelola organisasi yang baik," ujarnya.

Kurnia kembali melanjutkan, ia pun menyangsikan fungsi Dewan Pengawas belum berjalan efektif sebagaimana yang dimandatkan oleh Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019. Kurnia mengatakan sejak Dewan Pengawas dilantik, hampir tidak pernah ada temuan penting terkait potensi pelanggaran yang dilakukan oleh Pimpinan lembaga anti rasuah ini.

Padahal, kata Kurnia, publik dapat dengan mudah melihat ragam kontroversi yang telah dihasilkan oleh Pimpinan KPK. Hal ini menujukkan bahwa Dewan Pengawas berupaya menutup diri terhadap ragam persoalan di era kepemimpinan Komjen Firli Bahuri.

"Tak hanya itu, saat merumuskan kode etik, Dewan Pengawas juga tidak lagi mengakomodir pengaturan etik Pimpinan KPK," ujarnya.

Oleh karenanya,  ICW dan TII merekomendasikan KPK agar membenahi sektor penindakan, terlebih dengan memastikan adanya objektivitas dan independen saat mengusut sebuah perkara.

"Tak hanya itu, integrasi antara penindakan dan pencegahan pun perlu dipikirkan ulang serta juga mereformulasikan strategi pencegahan yang selama ini ada di KPK. Pada bagian tata kelola organisasi, sebaiknya Pimpinan KPK untuk meminimalisir gimmick politis dan mengedepankan nilai transparansi dan akuntabilitas dalam mengeluarkan sebuah kebijakan," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement